Kontradiksi Hadits: Nabi Muhammad Menghalalkan Babi Buat Penjual Khamr (Arak)?
Ada sebuah hadits yang sempat dijadikan bahan polemik oleh kalangan misionaris dan pendengki Islam dikarenakan redaksinya yang terdengar kontroversi. Hadits terkait merupakan hadits yang termuat dalam musnad Imam Ahmad nomor 18214 sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ وَوَكِيعٌ عَنْ طُعْمَةَ بْنِ عَمْرٍو الْجَعْفَرِيِّ عَنْ عُمَرَ بْنِ بَيَانٍ التَّغْلِبِيِّ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَاعَ الْخَمْرَ فَلْيُشَقِّصْ الْخَنَازِيرَ
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah, berkata telah diceritakan kepada kami Abi Idris dan Waki’ dari Tha’mah bin Amru Al-Ja’fari, dari Umar bin Bayan At-Taghlibi dari Urwah bin Al-Mughirah Ats-Tsaqafi bin Syu’bah dari Mughirah bin Syu’bah: Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang menjual khamr (arak), hendaklah ia menyembelih (memotong) daging babi. (menghalalkan dagingnya)" [Hadits ini dikomentari sebagai dha’if oleh Syeikh Al-Arnauth karena Umar bin Bayan at-Taghlibi majhul hal]
Redaksi ini secara literal tentu terdengar aneh, bagaimana bisa Nabi Muhammad memerintahkan penjual arak atau khamr untuk juga menghalalkan daging babi, sedangkan sudah jelas khamr dan babi keduanya adalah haram secara mutlak sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran?.
Untuk memahami hadits ini tentunya harus memahami pula bagaimana retorika yang digunakannya bersamaan dengan penjelasan ulama. Adapun hadits ini menggunakan retorika yang dalam kaidah ushul fiqh disebut tahdid (ancaman), yakni dimana sebuah perintah (amr) bermakna larangan (nahy).
Dalam kajian ushul fiqh sebuah kata perintah atau amr (dalam Hadits dan Al-Quran khususnya) tidak melulu bermakna ijab yakni harus atau wajib dikerjakan, tetapi juga bermakna lain sesuai qarinah (petunjuk) yang menjadi indikasi dalam ayat terkait, sehingga sebuah kata perintah (amr) dalam ayat terkait bisa juga bermakna sebatas anjuran (nadb), kebolehan (ibahah), petunjuk (irsyad), memuliakan (ikraman), peringatan (indhar) dan seterunya sampai kepada 15 jenis makna, dan salah satunya adalah bermakna ancaman yakni tahdid.
Tahdid adalah sebutan kepada ungkapan perintah yang bermakna kebalikannya atau berfungsi sebagai ancaman. Contoh populernya seperti kalimat, ‘mainlah api jika tidak takut terbakar’ atau ‘mainlah pisau jika tidak takut terluka’ perintah pada kalimat ini bermakna ancaman (tahdid), larangan walaupun menggunakan kata perintah. Hal ini seperti ayat dalam Al-Quran yang berbunyi;
“Lakukanlah apa yang kamu kehendaki! Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Fussilat: 40)
Kata perintah lakukanlah pada ayat ini bukan bermakna amr yakni perintah yang harus diikuti. Melainkan sebagai tahdid yakni ancaman dimana perintah bermakna larangan.
Begitu pula maksudnya perintah “menyemblih daging babi” untuk penjual khamr bukanlah bermakna perintah, melainkan ancaman larangan dan peringatan atas dosa dibaliknya. Bahwa menjual khamr sama dengan menghalalkan daging babi, bahwa keduanya sama-sama haram dan berdosa.
Ketika mentahqiq Musnad Imam Ahmad, Syaikh Syu’aub Al-Arnauth memberikan penjelasan kepada hadits ini dimana Al-Khattaabi berkata:
Ini adalah perumpamaan untuk larangan memakannya, dan maksudnya adalah untuk menegaskan dan memperberat larangan tersebut, dengan perkataan: “Siapa yang dibenarkan menjual arak, maka hendaklah ia dibenarkan pula memakan babi”, karena keduanya sama-sama haram dan berdosa, yakni jika kalian tidak dibenarkan memakan babi, maka janganlah kalian membenarkan menjual arak, dan dikatakan, "Ini adalah perintah yang bermakna larangan." Yakni, "Barangsiapa yang menjual arak, maka hendaklah ia menjadi tukang jagal babi.”
Al-Hafiz mengutip dalam "Al-Fath" 4/117 mengutip perkataan Ibnu Battal dalam hadis tersebut:
Beliau tidak memerintahkannya untuk menyembelihnya, tetapi untuk memperingatkan dan memperbesar dosa penjual arak.
Ibnu Abdil Barr berkata dalam "Al-Istizkar" 6/191:
"Ini bukan tentang kebolehan menyembelih babi bagi orang yang menjual khamr, akan tetapi ini adalah celaan dan teguran: "Barangsiapa yang menghalalkan penjualan khamr, padahal Allah telah mengharamkannya melalui Rasulullah SAW, maka janganlah ia mengharamkan penjualan babi”.
Hal ini serupa dengan hadits berikut:
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh kepada perbuatan dia di dalam meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari)
Ibnu Baththal berkata:
“Bukanlah maksud dari hadis ini perintah untuk meninggalkan puasa jika tidak mampu meninggalkan perkataan dusta. Akan tetapi maknanya adalah peringatan keras dari perkataan dusta. Hadis ini mirip dengan hadis ; ‘Barangsiapa menjual khamr/minuman keras hendaknya ia mencincang babi’. Yakni Beliau tidak memerintahkan untuk menyembelihnya, akan tetapi hanya memperingatkan dan memperingatkan besarnya dosa penjual khamar.”
Dengan demikian tidak benar anggapan yang disimpulkan dari pemahaman literal teks hadits ini bahwa Rasulullah menghalalkan babi bagi penjual khamr, melainkan itu adalah berupa retorikan ancaman (tahdid) dimana dosanya khamr juga sebesar mengonsumsi daging babi yang mana maksudnya kedua perkara ini memiliki berbobot dosa yang sama.
Hadits ini merespon fenomena dimana masyarakat mengaggap bahwa menjual bahkan meminum alkohol larangannya tidak sebesar mengonsumsi babi. Dimana umat Islam perkotaan saat ini terjadi fenomena yang sama dimana menganggap meminum khamr juga dianggap tidak seberdosa memakan daging babi. Walaupun hadits ini secara ilmu riwayat dikomentari sebagai hadits dha’if.
Tidak ada komentar: