Ads Top

MENJAWAB STATUS PAULUS DALAM TAFSIR IBNU KATSIR

 

Paulus dari Tarsus merupakan tokoh sentral penting bagi iman Kristiani. Dalam Roma pasal 11 ayat 13 ia mengklaim diri sebagai Apostle atau Rasul dari kalangan non-Yahudi. Paul Suparno dalam bukunya Communal Discernment menjelaskan bahwa setelah Paulus dan Barnabas mewartakan iman Kristiani di Antiokhia, banyak kalangan non-Yahudi yang kemudian ingin masuk dalam ajaran Kristiani. Mereka mencoba menyebarkan Kristiani diluar komunitas Yahudi.[1]

Hal ini kemudian menimbulkan konflik dari kalangan Kristiani komunitas Yahudi, khususnya para tetua-tetua dan murid-murid Yesus. Mereka mempermasalahkan apakah Kristen kalangan non-Yahudi harus mematuhi hukum sunat. Akhirnya dibuatlah sebuat muktamar (konsili) pertama dalam sejarah Kristiani yakni Konsili Yerusalem pada tahun 49 Masehi.

Dalam buku Identitas Yesus dan Misteri Manusia, Albertus Sujoko menjelaskan bahwa konsili ini tidak termasuk dalam Konsili Ekumenis (konsili yang melibatkan seluruh sekte Gereja untuk membahas doktrin Kristiani). Konsili Yerusalem ini kemudian menyimpulkan bahwa Kristen non-Yahudi tidak diwajibkan disunat dan pantangan-pantangan makanan dalam tradisi Yahudi.[2]

Sosok Paulus ini menjadi topik yang hangat bagi kalangan umat Islam dan Kristiani sendiri. Beberapa tokoh dari umat Muslim menganggap jika Paulus merupakan tokoh yang mengubah ajaran Nabi Isa dan mengangkat Isa sebagai Tuhan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Tafsir Al-Khazin serta Al-Fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwa` wan Al-Nihal, Ibnu Hazm. Sementara itu bagi Kristiani sosok Paulus merupakan salah satu dari Rasul-Rasul dalam iman Kristiani serta surat-suratnya dimasukkan dalam teks suci yang tergabung dalam Perjanjian Baru dalam Alkitab Bibble. 

Dewasa ini para Apologetik Kristiani (sebutan kepada orang-orang yang membela iman Kristiani) menemukan literatur Islami yang sekiranya bagi mereka dapat melegitimasi status Paulus dalam kacamata Islam. Nama paulus ternyata ada disebutkan dalam Tafsiran surat Yasin ayat 13 hingga 14, yang berbunyi: 

Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka; (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu”. (QS Yasin 13-14)

Penceritaan penduduk misterius dalam ayat ini kemudian disebut dengan nama kaum Yasin oleh Ibn Katsir dalam kitabnya Qashashul Anbiya. Dikarenakan ayat ini tidak menjelaskan secara gamblang mengenai identitas penduduk umat dalam ayat ini.

Sebagian kaum kristiani khususnya apologis Kristen mengklaim ayat di atas sebagai bukti legitimasi ‘kerasulan Paulus’ dalam Islam, khususnya dalam Al-Quran dan hadits Nabi. Ini karena mereka menemukan dalam sebagian tafsir-tafsir umat Islam bahwa yang dimaksud Rasul ke tiga dalam ayat di atas adalah Paulus. 

Mereka mengutip tafsir Ibnu Katsir yang berbunyi : 

Kami mendukung dan memperkuat mereka dengan utusan ketiga. (ayat) ‘ Ibn Jurayj mengisahkan dari Wahb bin Sulayman, dari Shu`ayb Al-Jaba’i, “Nama-nama utusan pertama dan kedua adalah Sham’un (Simon) dan Yuhanna (Yohanes), dan nama utusan ketiga adalah Bulus (Paulus), dan nama kota adalah Antiokhia. 

Sampai saat inipun kalau merujuk dalam Tafsiran Ibnu Katsir masih ditemukan riwayat diatas dalam karyanya. 

Namun hal ini tidak saja termaktub dalam tafsir Ibnu Katsir, melainkan juga disebutkan dalam Tafsir Baghawi, Syaukani, Khazin, Qurthubi. Serta kitab-kitab lain seperti Tarikh Ibn Ishaq, Qashashul Anbiya dan Bidayah wa Nihayah Ibn Kathir, Sirah Ibn Hisyam, Fathul Bari Imam Ibn Hajar yang juga mengutip dari Ibn Ishaq. 

Dari semua literatur di atas maka di dapati bahwa penulis kitab-kitab terkait pada umumnya mengutip dari riwayat yang sama yakni riwayat dari Ibnu Juraij dari Wahb bin Sulaiman dari Syu’aib Al-Jabba’i. Ibnu Juraij sendiri memiliki kitab tafsir dan diyakini sebagai kitab tafsir tertua. Dalam konteks ini difahami bahwa literatur-literatur yang disebutkan sebelumnya bisa jadi dikutip dari kitab Tafsir Ibn Juraij. Selanjutnya Ibn Juraij mengutip dari riwayat Wahb bin Sulaiman yang dikutip dari Syu’aib Al-Jabba’i. 

Karena riwayat sanad terputus hingga Syu’aib Al-Jabba’i maka riwayat ini bukan berasal dari hadits Nabi Muhammad. Sehingga salah jika ada yang mengatakan Nabi Muhammad atau Hadits mengkonfirmasi nama Paulus, karena ini bukan hadits dan bukan berasal dari Nabi Muhammad. 

Dalam kitab Al-Israiliyyat wa Atharuha fi Al-Kutub Al-Tafsir, Dr. Ramzi Na’na`ah menjelaskan jika Syu’aib Al-Jabba’i ini seorang perawi yang sering meriwayatkan cerita-cerita dari Ahlul Kitab (israiliyat). Maka tidak heran riwayat yang satu ini sangat cocok dengan ajaran Kristiani[3]. Namun perlu digaris bawahi, tidak semua riwayat israiliyat boleh diterima dan ditolak, sehingga riwayat-riwayat israiliyat ini harus diteliti kembali baik dari kesahihan sanad dan matan. 

Menurut Ilmu Rijal (Ilmu yang khusus menelaah profil perawi hadis), riwayat-riwayat dari Syu’aib Al-Jabba`i yang memiliki nama lengkap Syu’aib Al-Aswad Al-Jabba`i ini dikomentari sebagai matruk. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Lisan Al-Mizan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani[4], kitab Mizan Al-’Itidal oleh Adz-Dzahabi[5] serta dalam kitab Tsiqat oleh Ibn Hibban yang dikutip oleh Syaikh Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi dalam kitabnya Taudhih Al-Musytabah[6]

Perlu diketahui suatu riwayat dinilai matruk apabila ada penyebab kecacatan perawi yang tertuduh berdusta. Riwayat matruk berarti riwayat yang mardud yakni tertolak, sehingga riwayat yang telah dikonfirmasi sebagai matruk tidak dapat dijadikan referensi. Jika riwayat maudhu' adalah seburuk-buruk tingkatan dha'if maka matruk berada pada tingkat berikutnya[7]

Jika ditinjau dari Ilmu Jarh wa Ta’dil hadits, tingkatan matruk yang diatribusikan kepada Syu’aib Al-Jabba`i ini merupakan tingkatan ke-empat dalam klasifikasi jarh. Syaikh Manna’ Al-Qaththan menjelaskan, jarh perawi dalam tingkatan ke-empat hingga seterusnya tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis dan tidak boleh dianggap sama sekali[8]

Kembali lagi ke penafsiran surah Yasin ayat 13 hingga 29, menganggap bahwa lokasi penceritaan ayat tersebut berada di Antiokhia sebagaimana pendapat ulama salaf maupun khalaf merupakan pendapat yang lemah sekali sebagaimana yang dikonfirmasi oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya Qashashul Anbiya. Alasannya, penduduk kaum Yasin pada akhirnya diazab sedang Antiokhia tidak. Namun pendapat paling dekat menurut Ibnu Katsir bisa jadi itu Antiokhia kuno, wallahualam[9]

Adapun mengenai termaktubnya riwayat ini dalam tafsir Ibnu Katsir, bisa jadi beliau belum menemukan referensi tentang status perawinya. Ataupun memang begitu karakteristik tafsir beliau, karena tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir bil ma’tsur, dan salah satu karakteristik tafsir bil ma’tsur adalah menafsirkan Al-Quran dengan riwayat-riwayat dari Bani Israil yang umumnya disebutkan dengan israiliyat disamping menafsirkan ayat dengan ayat, ayat dengan hadits bahkan ayat dengan perkataan sahabat. 

Ibnu Katsir sendiri dalam tafsir biasanya menukilkan semua riwayat yang terkait dengan ayat yang dibahas. Baru kemudian di akhir pembahasan beliau menjelaskan tentang status-status riwayat tersebut. Namun juga bahkan beliau tidak mengkonfirmasi mana riwayat yang dapat diambil dan tidak. Bahkan dalam penafsiran ayat di atas, Beliau juga memaparkan riwayat lain dari Ibnu Abbas, jika ketiga utusan tersebut bernama Sadiq, Saduq dan Syalum, lagi-lagi riwayat ini belum dapat dikonfirmasi hujjahnya. Pada tahap ini kita faham jika tafsir Ibnu Katsir bukan tafsir yang di peruntukkan untuk orang awam. 

Maka tidak heran jika pada tahun 2009 pernah terjadi polemik terhadap isi dari buku Miracle The Reference yang mengutip nama Paulus dalam terjemahan yasin ayat 13-14 ini tanpa mengkonfirmasi terlebih dahulu mengenai status riwayatnya. Hingga akhirnya penerbit buku terkait merevisi isinya. Maka harus kita maklumi apabila kedepan ditemukan lagi buku-buku terbaru dengan konten terkait, bisa jadi penulis mengaggap riwayat yang dimaksud dapat dijadikan hujjah. 

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa. Pertama, penduduk Yasin dalam surat Yasin terkat tidak bisa dikonfirmasikan sebagai penduduk negeri Antiokhia. Kedua, Paulus tidak pernah disebutkan dalam Quran maupun Hadits sebagaimana yang disebut-sebutkan oleh apologis Kristiani. Apa yang tertulis dalam Tafsir bukan berarti tertulis dalam Quran, apa yang disebut riwayat tidak semua dari nabi Muhammad. Ketiga, riwayat Syu’aib Al-Jabba`i khususnya tentang Paulus dinilai matruk dan tidak dapat dijadikan hujjah (referensi). Dengan begitu maka klaim legitimasi Paulus dalam dunia Islam khususnya dalam penafsiran terbantahkan.
_______________

[1] Paul Suparno, Communal Discernment (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm 9-14 
[2] Albertus Sujoko, Identitas Yesus & Misteri Manusia (Yoyakarta: Kanisius, 2009) hlm, 115 
[3] Ramzi Na’na`ah, Al-Israiliyat wa Astruha fi al- Kutub Al-Tafsir (Beirut: Dar Dhiya, 1970), hlm. 77 
[4] Ibn Hajar Al-Asqalani, Lisan Al-Mizan (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1971), Jilid 3, hlm. 177 
[5] Adz-Dzahabi, Mizan Al-'Itidal (Beirut: Dar Al-Ma'rifat, tt), Jilid 3, hlm. 278 
[6] Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi, Taudhih Al-Musytabah (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, tt), Jilid 3, hlm. 21 
[7] Syaikh Manna' Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 149 
[8] Syaikh Manna' Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 90 
[9] Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi (Jakarta: Qisthi Press, 2015), hlm. 370-371

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.