Ads Top

KURBAN/QURBAN DALAM AGAMA YAHUDI, KRISTEN, HINDU & ISLAM: Yahudi Yang Paling Ribet


Kurban atau Qurban dalam agama Islam, atau khususnya dalam bahasa Arab secara etimologi berarti "dekat". Sehingga Qurban dipahami sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah[1]. Dalam hal ini, shalat, puasa, infaq, zakat, membaca Al-Quran dan sebagainya merupakan ragam bentuk upaya taqarrub (qurban) untuk mendekatkan diri kepada Allah, termasuk dalam hal ini lebih spesifik adalah menyisihkan harta untuk menyembelih hewan pada hari raya Idul Adha[2].

Adapun dalam Islam, upaya taqaarub dalam bentuk penyembelihan pada hari idul Adha disebut Udhiyyah. Kata udhiyyah yang sinonim dengan qurban berasal dari kata dahwah, yaitu waktu dhuha saat matahari pagi mulai naik menjelang siang hari. Arti lain dari udhiyyah adalah kambing yang disembelih pada hari adha, sedangkan menurut syara' merupakan hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari nahr dengan syarat-syarat khusus[3].

Hari nahr atau yaumul nahar merupakan sebutan kepada tanggal 10 Dzulhijjah yakni hari pertama idul Adha sebagaimana yang berbunyi dalam surat Al-Kautsar: 2. Sedangkan menurut jumhur ulama, kata an-Nahr mencangkup juga pengertian kata al-Udhiyyah dan Ad-Dahiyah[4].

Dalam agama Islam, ada keyakinan bahwa Qurban bukan merupakan ibadah baru dan sudah ada oleh umat sebelumnya, yang dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut syar’u man Qablana yang artinya, syariat sebelum era syariat Islam -syariat nabi-nabi terdahulu[5]. Dalam hal ini tentu yang dimaksud adalah syariat-syariatnya umat para Nabi dari Bani Israil. Dan sisa-sisa syariat Nabi Bani Israil yang dapat dilihat sekarang adalah agama Yahudi.

Dalam agama Yahudi ibadah ritual penyembelihan ini juga disebut dengan Kurban yang bentuk jamaknya menjadi Kurbanot. Yang mana secara etimologi, dalam bahasa Ibrani kata Kurban berarti “mendekat” dalam artian sebuah ritual yang bertujuan mendekatkan diri pada Tuhan[6]. Kesamaan makna etimologi antara bahasa Arab dan Ibrani karena kedua bahasa ini merupakan rumpun bahasa semitik.

Ritual Korbanot ini hanya boleh dilakukan oleh para pemuka agama Yahudi yang disebut Kohanim. Yang nama Kohanim ini merupakan pemuka agama yang secara garis keturunan harus memiliki silsilah nasab kepada nabi Harun[7].

Hewan-hewan yang dikurbankan oleh umat Yahudi adalah lembu, domba, kambing, burung tekukur dan merpati yang mana mereka bebas dari kecacatan serta hewan-hewan itu merupakan hewan ternak atau peliharaan dan bukan hewan liar. Selain itu, juga berkurban dengan makanan seperti biji-bijian atau tepung bahkan air anggur yang disajikan sedemikian rupa. Begitu pula juga terkadang uang. Jika kurban hewan maka disembelih atau dibakar, gandum akan dibakar dan uang dijadikan donasi kuil. Dari sini dapat dipahami bahwa kurban dalam Yahudi bukan hanya kepada hewan, akan tetapi juga makanan dan minuman dengan tujuan mendekatkan diri pada Tuhan[8]. Prosesi kurbanot pembakaran ini biasanya dilakukan pada altar atau mezbah kuil mereka dan dilakukan setiap harinya, baik oleh individu maupun oleh sekelompok orang.

Setidaknya ada empat jenis kurban yang dilakukan umat Yahudi[9]:
  1. Olah, yakni korban bakaran yang mana seluruh sesembahan harus dibakar habis tanpa sisa dan tidak boleh dinikmati baik oleh kohanim maupun pemberi sesembahan. Korban bakaran ini sebagai simbol keinginan mereka berkomunikasi dengan Tuhan sekaligus untuk penebusan dosa-dosa mereka secara sengaja.
  2. Sh’lamim, yakni korban kesyukuran dimana kurban ini merupakan bentuk rasa syukur kepada tuhan karena hal-hal tertentu seperti selamat dari musibah atau tersampainya sumpah. Berbeda dengan Olah, hewan kurban sh’lamim ini sebagian dibakar, sebagian diberikan kepada kohanim dan sisanya disantap oleh keluarga pemberi.
  3. Chatat, yakni korban yang dilakukan karena ia telah melakukan dosa tanpa sengaja, baik secara pribadi maupun dilakukan secara bersama. Persembahan ini tidak boleh disantap oleh pemberinya namun dalam kondisi tertentu dapat dikonsumsi oleh kohanimnya.
  4. Asham, yakni korban yang dilakukan karena tidak yakin ia telah melakukan dosa atau tidak. Persembahan ini hanya dapat dikonsumsi oleh kohanim saja.
Ritual ini hanya dapat dilaksanakan pada kuil Yahudi yang kini dikenal sebagai baitul maqdish. Namun karena tidak ada lagi bangunan ini, maka ritual tersebut tidak pernah dilakukan kembali sejak diruntuhkan oleh Romawi pada tahun 70 masehi[10].

Mengenai hilangnya ritual penting ini mendatangkan ragam pendapat oleh umat Yahudi. Ada yang mengatakan bahwa tidak perlu lagi ritual ini seperti yang dianut oleh komunitas Yahudi Reformis dan Yahudi Rekonstruksionis, ada pula yang mengatakan bahwa ritual ini masih berlaku namun mari kita tunggu kedatangan messiah. Pandangan inilah nanti yang memaksa negara Israel agar mendirikan kembali kuil mereka agar dapat melaksanakan kembali ritual ini dan akhirnya memaksa messiah agar segera turun. Disisi lain ada pula yang berpendapat bahwa kita tidak perlu membangun kuil karena kelak yang akan membangunnya adalah messiah sendiri.

Diluar ibadah kurbanot, saat mengkonsumsi daging baik unggas maupun mamalia lain, umat Yahudi juga harus mematuhi aturan hukum dalam menyembelih hewan yang disebut hukum shehita, yang mana secara umum, aturan dalam menyembelih dalam yahudi hampir mirip dengan Islam[11]. Dimana, ada hewan-hewan yang boleh dan tidak untuk disembelih, memakai pisau tajam, dan aturan-aturan detail lainnya yang membuat prosesi sembelihan ala yahudi sangat kompleks. Oleh karenanya seorang penyembelih tidak boleh sembarangan orang, melainkan mereka yang sudah mempelajari aturan sembelih dalam agama Yahudi yang disebut Shohet. Gunanya agar hewan yang disembelih, yakin benar-benar kosher (kosher ini istilah halalnya dalam agama Yahudi, sedangkan kalau haram disebut dengan trefa).

Kristiani merupakan agama yang memiliki kedekatan dan kaitan yang sangat dekat dengan ajaran Yahudi dan dianggap sebagai penerus umat perjanjian lama di era perjanjian baru. Namun ternyata dalam Kristen secara umum tidak mempraktikkan ritual seremoni kurban apapun. Bukan karena kuilnya tidak ada, melainkan aturan ini sudah tidak ada lagi dalam doktrin kekristenan.

Penyebabnya adalah karena dalam ajaran Kristen memahami bahwa sebab adanya ritual kurban dalam Yahudi karena umat manusia mewarisi dosa asal sejak Adam (original sin). Sehingga kurban itu diperlukan tujuannya untuk menghapus dosa-dosa mereka. Walaupun sebenarnya umat Yahudi tidak memahami akan adanya konsep keyakinan dosa asal warisan dari Adam[12].

Yesus dalam Kristen juga dianggap sebagai Anak Domba Tuhan yang disebut dalam bahasa Latin sebagai Agnus Dei[13]. Dalam hal ini Yesus yang disalib dilambangkan sebagai sebagai sebuah kurban yang menebus dosa umat manusia yang diwarisi sejak Adam kepada Tuhan, sehingga menurut ajaran Kristen; maka tidak diperlukan lagi ritual kurban karena Yesus sendiri sudah menggantikan kurban ala Yahudi yang mereka anggap tidak terpenuhi itu, dengan penyaliban Yesus[14].

Lalu untuk mengenang pengorbanan Yesus dalam kekristenan, dibuatlah sebuah seremonial yang disebut Ekaristi (Misa Kudus) atau Penjamuan Kudus dimana roti dilambangkan tubuh Yesus dan anggur digambarkan darahnya untuk mengenang Yesus sebagai inkarnasi tuhan dalam wujud manusia yang dikorbankan untuk menebus dosa umat manusia yang diwariskan dari Adam[15].

Ekaristi ini oleh Gereja Timur dalam Ritus Eddesan disebut Qurbana Qadisha atau kurban kudus. Adapun dalam Ritus Siro-Antiochene disebut Qurobo Qadisho yang juga berarti kurban suci[16]. Oleh karenanya secara umum tidak ada lagi ritual kurban dengan menyembelih dalam Kristen, karena kurban yang begitu oleh ajaran Kristen sudah digenapi dengan pengorbanan Yesus dengan disalibkan.

Walaupun begitu ternyata ditemukan ritual kurban dengan menyembelih hewan oleh penduduk beberapa desai di Yunani yang disebut Kurbania. Sepertinya ini merupakan ritual kuno pagan yunani yang di-kristenkan dengan menggunakan istilah dari turki yakni kurban.

Di Cappadocia, Anatolia pada akhir abad ke 19 tercatat mereka mengorbankan hewan untuk Santo Charalambos. Contoh lain seperti di Herakleopolis, Anatolis yakni mereka mengorbankan rusa kepada St. Athenogenes. Rusa dikorbankan, dimasak, dan dimakan oleh jemaat dan dengan demikian umat beriman merayakan kemuliaan santo yang martir. begitu pula di desa Mistegna, lesbos, dan di desa Mega Monastiri di timur laut Thrace. Ritual ini kemudian mendapat kecaman dan dianggap sebagai warisan budaya pagan Yunani oleh Nikodemus dan Theophilus dari Campania pada abad ke 18[17].

Adapun ritual penyembelihan ini masih asri dalam Gereja Armenia yang disebut matagh yang mana hasil kurbanan akan disalurkan dalam bentuk charity[18].

Walaupun ritual qurban dalam Islam mirip dengan ajarannya bani Israil yang kini dikenal Yahudi dan juga Nasrani. Sebenarnya semangat kurban dalam Islam termotivasi dari peristiwa penyembelihan anak nabi Ibrahim yang kemudian peristiwa ini dikenang oleh keturunan Nabi Ismail di jazirah Arab. Sehingga terjadi distorsi yakni perubahan dan disusupi bid’ah-bid’ah pada masa itu hingga akhirnya bangsa Arab malah melakukan kurban kepada patung-patung berhala, seperti yang dilakukan oleh peradaban-peradaban pagan di sekitar kawasan jazirah Arab ketika itu.

Ritual menyimpang inilah yang kemudian diperbarui oleh Nabi Muhammad yang dikemas dalam bingkai syariat Islam, dari menyembelih untuk berhala diganti menyembelih kepada Allah. Dari yang membiarkan sembelihannya sampai membusuk digantung di patung berhala, diganti dengan dibagi-bagi kepada orang-orang yang membutuhkan. Jadi disini rasulullah memberikan makna positif dari ritual korban tersebut.

Alasan bahwa ritual kurban dalam Islam bukan terinspirasi dari Yahudi baik itu Yahudi Madinah atau bukan adalah, bahwa kurban yang dilakukan oleh umat Yahudi harus memenuhi satu syarat yakni harus di kuil beit hamikdash atau baitul maqdis di Yerusalem. Kalaupun kuilnya pada masa itu, yakni masa Nabi Muhammad masih ada, maka mereka tidak dibenarkan melakukan ritual Kurbanot ini di Madinah, melainkan harus ke Yerusalem.

Adapun kuil beit hamikdash sendiri sudah dihancurkan oleh Titus pada tahun 70 masehi yang kemudian komplek ini menjadi tempat sampah, hingga Umar bin Khattab mengangkat kembali tempat ini dan memuliakannya sebagai tempat ibadah. Sejaksaat itu umat Islam, Kristen dan Yahudi dapat kembali beribadah disini.

Jadi dengan dua alasan diatas maka tidak mungkin ibadah qurban dalam Islam terinspirasi dari umat Yahudi, walaupun tanpa dipungkiri Allah juga mensyariatkan ritual yang sama kepada umat bani Israil. Begitu pula tidak mungkin pula dari umat Kristen Arab, karena tentu ajaran Kristiani tidak mewarisi ritual kurban dalam konteks ritual seremonial mengorbankan hewan dalam bentuk sesembelihan.

Walaupun iya Qurban dalam Islam selalu diidentikkan dengan kisah Ibrahim dan anaknya, akan tetapi lebih dari itu bahwa umat islam (bahkan pun Yahudi dan Nasrani) memahami bahwa ritual ini sudah ada sejak era Adam seperti yang dilakukan oleh Habil dan Qabil.

Hindu sendiri merupakan agama yang memahami bahwa semua makhluk terdapat percikan tuhan yang disebut atman, bahkan pula pada manusia[19]. Hindu juga melarang kekerasan terhadap hewan yang disebut konsep ahimsa. Oleh karenanya umat Hindu umumnya tidak makan daging dan telur atau disebut lacto-vegetarian[20]. Sehingga bentuk Kurban dalam Hindu berbeda dengan Islam atau Yahudi yang umumnya menyembelih hewan. Ritual kurban dalam Hindu disebut dengan Yajna[21].

Metode yajna ini adalah meletakkan barang kurbanan di atas altar yang disebut Vedi dimana kayu ditempatkan bersama dengan biji berminyak dan alat bantu pembakaran lainnya. Api yang hidup dianggap sebagai api suci yang disebut Agni. Di antara bahan-bahan yang dikorbankan sebagai persembahan dalam yajna adalah ghee (semacam mentega), susu, biji-bijian, kue dan soma (yakni semacam minuman ritual)[22].

Durasi yajna tergantung pada jenisnya, beberapa hanya berlangsung beberapa menit sedangkan, yang lain dilakukan selama beberapa jam, hari atau bahkan bulan. Beberapa yajna dilakukan secara pribadi atau secara berkelompok dalam komunitas. Ritual pengorbanan Yajna ini bukan saja diperuntukkan kepada dewa atau bahkan Brahman, tetapi juga kepada makhluk hidup seperti binatang dan burung, untuk manusia dan juga untuk leluhur yang dilakukan oleh Pandhita[23].

Pandhita atau Pandit merupakan sebutan kepada guru agama dalam agama Hindu. Di Indonesia kata pandhita ini kemudian diadopsi oleh umat Kristen untuk menyebut pemuka agamanya menjadi pendeta.

Sekilas memang yajna ini mirip dengan kurbanotnya ala Yahudi dalam bentuk biji-bijian dan tepung. Bahwa sama-sama dibakar dan sama-sama dilakukan oleh pemuka agamanya, dalam hindu disebut Panditha dan dalam Yahudi disebut Kohanim.

Walaupun umat Hindu umunya vegetarian, namun ada pula sebagian dari mereka yang mengonsumsi hewan; khususnya kambing atau domba, dan pastinya bukan sapi karena bagi Hindu sapi adalah hewan suci. Hanya saja mereka memiliki cara tersendiri untuk menyembelihnya yang mereka sebut Jhatka dimana mereka menebas kepala hewan tersebut dengan cepat hingga terputus[24]. Dengan cara ini, menurut mereka tidak membuat hewan yang disembelih merasakan sakit, sehingga tidak melanggar konsep ahimsa dalam ajaran mereka yakni larangan menyakiti mahkluk hidup. Metode ini juga dianut oleh agama sub-hindu yakni Sikh dalam prosesi penyembelihannya.

Walaupun umat Sikh diperbolehkan memakan daging yang disembelih dengan metode Jhatka yakni dengan ditebas, akan tetapi mereka dilarang memakan daging yang disembelih ala Islam maupun Yahudi yang mereka sebut Kutha[25]. Hanya saja penyembelihan menggunakan metode Jhatka membuat darah hewan yang disembelih tidak keluar secara penuh hingga mempengaruhi kualitas daging.

Dengan begitu dapat simpulkan bahwa pertama, kurban dalam makna luas merupakan segala upaya pendekatan diri kepada tuhan baik itu dengan menyembelih maupun dengan amalan lain. Namun dalam makna sempit, Kurban dipahami sebagai ritual umum dalam agama-agama yang dideskripsikan sebagai prosesi seremonial media mendekatkan diri kepada tuhan yang menitik beratkan pada nilai-nilai keikhlasan untuk mengorbankan sebagian hartanya. Dalam hal ini prosesi kurban dalam Yahudi dan Hindu mengharuskan melenyapkan persembahan kurbannya, hal ini berbeda dalam Islam dimana umat muslim memahami persembahan kurbannya harus disalurkan kepada yang membutuhkan.

Di luar prosesi kurban, Yahudi, Islam dan Hindu memiliki metode dan aturan khusus dalam menyembelih hewan. Dalam Yahudi disebut Shehita, dalam Islam disebut Dzabiha dan dalam Hindu disebut Jhatka. Umat Hindu, Islam dan Yahudi sama-sama memiliki aturan untuk berbuat baik terhadap hewan yang disembelih. Kalau di Islam dan Yahudi mengharuskan menggunakan pisau tajam dan dalam waktu singkat, maka dalam hindu diharuskan menebas lehernya dalam waktu singkat juga.

_______________
[1] Zaenal Abidin, Fiqh Ibadah (Deepublish, 2020) hlm. 124

[2] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 5/74

[3] Piss KTB, Tanya Jawab Islam (Daarul Hijrah Technology, 2015) hlm. 3988

[4] Ahmad Faizin Karimi, Kurban; Kekerasan Berbingkai Agama? (MUHI Press, 2012) hlm. 41

[5] Satria Effendi, Ushul Fiqh: Edisi Pertama (Jakarta: Kencana, 2017) hlm. 149

[6] Meir Tamari, Truths Desired by God: An Excursion Into the Weekly Haftarah (Geren, 2011) hlm. 135

[7] Sara E. Karesh & Mitchell M. Hurvitz, Encyclopedia of Judaism (Facts On File, 2006) hlm. 277

[8] https://www.chabad.org/library/article_cdo/aid/4440323/jewish/Korbanot-The-Biblical-Temple-Sacrifices.htm

[9] https://www.jewishvirtuallibrary.org/sacrifices-and-offerings-karbanot

[10] https://www.jewfaq.org/qorbanot.htm

[11] https://en.wikipedia.org/wiki/Shechita

[12] Ted Falcon & David Blatner, Judaism for Dummies (Wiley, 2019) hlm. 273

[13] Don Michael Randel, The Harvard Dictionary of Music (2003) hlm. 28

[14] Robert Mackintosh Paterson, Taf. Alk. Kitab Imamat (BPK Gunung Mulis, 1994) hlm. 79

[15] Gerrit Cornelis van Niftrik, Dogmatika Masa Kini (BPK Gunung Mulis, 1978) hlm. 460

[16] https://en.wikipedia.org/wiki/Eucharist

[17] Speros Vryonis. The Decline of Medieval Hellenism in Asia Minor: and the Process of Islamization from the Eleventh Through the Fifteenth Century. Volume 4 of Publications of the Center for Medieval and Renaissance Studies. (University of California Press, 1971) hlm. 490

[18] Association internationale des études arménnienes, Armenian Perspectives: 10th Anniversary Conference of the Association Internationale Des Études Arméniennes, School of Oriental and African Studies, London (Curzon, 1997) hlm. 171

[19] Lisa Kemmerer, Animals and World Religions. (OUP USA, 2012) hlm. 64

[20] Kandiah Sivaloganathan, Understanding Hinduism (Zoorba Books, 2020) hlm. 9

[21] https://en.wikipedia.org/wiki/Yajna

[22] Eric Coxall, The Kosmic Symphony (Lulu, 2016) Vol.1, hlm. 161

[23] https://en.wikipedia.org/wiki/Yajna

[24] https://en.wikipedia.org/wiki/Jhatka

[25] https://en.wikipedia.org/wiki/Kutha_meat

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.