ISLAM ADOPSI AJARAN AGAMA LAIN?; Awal Mula Tuduhan Orientalisme
Orientalis adalah kata serapan dari bahasa Perancis yang asal katanya adalah orient yang berarti "Timur". Secara gegorafis, kata ini dapat diartikan "dunia Timur" dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa di timur. Kata orient itu telah memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk bahasa Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang bermakna; hal-hal yang bersifat timur, yang teramat luas ruang lingkupnya.
Orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan "timur". Sedangkan kata orientalisme (Belanda) ataupun orietalism (Inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu paham. Jadi orientalisme berarti sesuatu paham, atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya. Selain dari pada itu, Edward W. Said memahami orientalis sebagai suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus menurut pengalaman orang Barat Eropa. Atau dengan kata lain orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada perbedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara "Timur" (the Orient) dan (hampir selalu) Barat (the Occident).
Oleh karena itu, meskipun orientalis memiliki makna yang luas, yaitu segala sesuatu yang berkaitan langsung dengan bangsa-bangsa Timur beserta lingkungannya sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan, namun secara sempit, orientalis dapat diartikan sebagai kegiatan ahli ketimuran Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya agama Islam.
Kegiatan penyelidikan dalam bidang tersebut telah berlangsung selama berabad-abad secara sporadik, tetapi baru memperlihatkan intensitasnya yang luar biasa sejak abad ke 19 Masehi. Sikap dan pandangan terhadap masing-masing agama di Timur, khususnya agama Islam, sangat berbeda-beda menurut sikap mental orientalis itu[1].
Ketertarikan barat pada Islam, bisa dilihat ketika dimulainya gerakan mempelajari Islam sejak abad ke-12. Pada saat itu, beberapa rahib barat pernah datang ke Andalusia di masa kejayaan Timur. Mereka belajar di sekolah-sekolah di sana, menerjemahkan al-Quran serta buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa mereka dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di antara mereka adalah Jerbert yang terpilih menjadi Paus Roma pada tahun 999 M, Pierrele Aenere (1156-1092), dan Gerard de Gremone (1187-1114). Setelah kembali ke daerah asalnya, mereka mulai mengajarkan ilmu yang telah diperoleh tersebut, sehingga dalam beberapa tahun, Universitas-universitas di Barat bergantung sekali pada buku berbahasa Arab[2].
Namun kejayaan peradaban Islam menjadi momok sendiri bagi politikus maupun agamawan di Eropa. Mengingat hegemoni Islam dapat mengancam Eropa dari sisi politik maupun teologis. Akhirnya Alexius Comnesus meminta Paus Urbanus II agar melakukan propaganda merebut kembali tanah itu kepada kerajaan Kristen. Paus Urbanus II segera mengumpulkan tokoh-tokoh Kristen pada tanggal 26 November 1095 di Clermont sebelah tetangga Perancis. Dalam pidatonya Paus memerintahkan untuk mengangkat senjata melawan pasukan Muslim. Dengan tujuan memperluas gereja-gereja Romawi supaya tunduk di bawah otoritasnya Paus. Dan Propagandanya Paus menjanjikan ampunan peperangan ini. Oleh karena ini meletuslah Perang Salib[3]. Karena faktor dorongan agamawi itulah para pasukan ini menggunakan simbol salib dan dinamai perang salib. Perang ini merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab kebencian terhadap agama Islam oleh umat Kristen pada masa itu hingga masa berikutnya.
Selang 46 tahun setelah Paus Urbanus II mengobarkan perang salib, kepala Biara Cluny yang merupakan termasuk biara paling berpengaruh di Kristen Eropa pada zaman pertengahan Barat yang bernama Petrus Venerabilis, sangat bersemangat untuk mempelajari agama Islam untuk tujuan menjatuhkan Islam. Sekitar tahun 1141-1142, Petrus Venerabilis berkunjung ke Toledo, Spanyol. Di sana ia menghimpun, membiayai dan menugaskan tim penerjemah untuk menghasilkan karya berseri yang akan dijadikan landasan bagi para misionaris Kristen ketika berinteraksi dengan kaum Muslimin[4].
Pada postingan sebelumnya dengan judul SEJARAH KEBENCIAN KRISTEN TERHADAP AGAMA ISLAM: Dari Yohanna Damaskus Hingga Martin Luther sudah diurai mengenai fenomena kritik di era abad pertengahan.
Karakteristik kritik di era abad pertengahan lebih bersifat subjektif dan tendensius untuk tujuan apologetik kekristenan dengan tujuan untuk menanamkan paradigma negatif kepada penduduk Eropa terhadap ajaran Islam guna membendung hegemoni peradaban Islam yang begitu masif.
Waktu terus berlalu hingga akhirnya Kekeristenan terpecah menjadi Gereja Katolik dan Kristen Protestan. Kemudian muncullah era kritik Bible yang dipelopori oleh Richard Simon (1638-1712), seorang pendeta Perancis, yang dijuluki ‘the father of Biblical criticism’. Kemudian diikuti oleh John Mill, dilanjutkan oleh Edward Wells, Richard Bentley, Johann Albrecht Bengel dan lain sebagainya[5].
Pasca munculnya era-kritik Bible seiring semakin banyak yang meneliti Islam langsung dari sumbernya serta tidak lagi dari tulisan propaganda gereja, maka berikutnya nuansa kritik terhadap Islam juga berubah. Para orientalis sudah tidak lagi melihat Islam sebagai bagian dari sekte sesat Kristen. Nabi Muhammad tidak lagi dipandang negatif, dan Al-Quran serta Hadits menjadi corpus (peninggalan) Islam yang menjadi titik fokus kajian nantinya.
Begitu pula, sejak abad ke 19 umumnya para pengkritik (orientalis) tidak lagi berasal dari kalangan teolog maupun apologet Kristen, melainkan oleh para sarjanawan serta dengan metodologi ilmiah.
Dalam meneliti dan mengkritik Islam, pola pikir dasar orientalis dalam prinsip kausalitas, yakni hukum sebab-akibat. Maksudnya, konsep ajaran agama Islam yang sedemikian rupa tidak mungkin tercipta dengan sendirinya, pasti Muhammad terinspirasi dan termotivasi dari sumber-sumber lain untuk membangun ajaran Islam. Oleh karenanya para orientalis kemudian meneliti Quran serta Hadits secara corpus Islam untuk menemukan benang merah bagaimana agama Islam dikontrusksi.
Hal ini diawali oleh Abraham Geiger pada tahun 1833 dengan karyanya Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?. Dimana klaimnya bahwa Islam dan Quran dipengaruhi ajaran-ajaran Yahudi serta Taurat.
Perlu ketahui, tujuan Geiger menulis karya ini bukan semata karena ia membenci Islam. Kontra seperti yang dilakukan oleh apologet Kristen di era sebelumnya, melainkan untuk mengikuti kompetensi agar dapat menerima beasiswa masuk ke Universitas Bonn tahun 1832. Geiger sendiri merupakan seorang Yahudi Reformis.
Penelitian Geiger ini kemudian dikembangkan lagi oleh Theodor Noldeke. Dengan menjadikan Bibel sebagai patron alat ukur untuk menilai Al-Qur'an. Lalu ada Fraenkel, Hartwig, Schapiro, Wensinck, Horovitz, Torrey dan lain-lain. Mereka-mereka ini yang menganggap jika Islam dan Quran dipengaruhi oleh ajaran Yahudi Arab.
Begitu pula ada pula yang berpendapat jika Islam dan Al-Quran dipengaruhi ajaran Kristen. Klaim ini Diawali oleh Thomas Wright pada tahun 1855 dengan karyanya Early Christianity in Arabia. Kemudian diikuti oleh Louis Cheikho, Wellhausen, Friedrich. Kemudian, Rudolph, Tor Andrae , Richard Bell, Mingana, Ahren, Tisdall, Arthur Jeffery dan lain-lain.
Selain itu ada juga yang berpendapat jika Islam terinspirasi dari agama Zoroaster. Hal ini di klaim oleh Ignaz Goldziher dalam karyanya Islamisme et Parsisme pada proseding kongres internasional sejarah agama pertama tahun 1900. Goldziher sendiri seorang Orientalis yang berfokus pada mengkaji hadits-hadits nabi.
Hanya saja, walaupun mereka sama-sama membongkar habis agama Islam. Mereka sendiri tidak bisa seiya dan sekata untuk menyimpulkan apakah Islam benar-benar dipengaruhi oleh agama lain atau tidak.
Hal Itu dikarenakan karya mereka juga tidak luput dari bantahan, yang menunjukkan bahwa ada sisi kelemahan dan kecacatan dari setiap karya yang mengkritik Islam oleh para orientalis ini. Yang mengejutkan adalah, karya mereka bahkan dibantah oleh sarjana-sarjana barat juga. Abraham geiger dibantah oleh Norman Stillman, Tisdall dibantah oleh François de Blois, Louis Cheikho dibantah oleh JS Trimingham, Bahkan Richard Bell dalam penelitiannya akhirnya tidak yakin kalau Quran benar-benar dipengaruhi oleh ajaran Kristen Arab mengingat beberapa realitas sejarah.
Setelah mereka, ada banyak orientalis yang lahir. Diantara mereka ada yang mempelajari Quran, Hadits, Sirah atau biografi Nabi Muhammad, sejarah, politik, sosilogi dan segala hal mengenai Islam.
Tujuannya juga berbagai macam. Ada yang menjatuhkan, ada yang tujuannya hanya sebatas penelitian ilmiah akademis, ada pula yang mensupport Islam.
Orintalis yang mendukung Islam seperti Emile Dermenghem, Regis Blachere, Charles Montagu, Sirr Hamilton, Luis mansignon, W.C Smith, Marcel Kurpershoek, Toshihiko Izutsu, John Esposito, karen Amstrong dan banyak lagi.
Diantara orientalis ini akhirnya ada juga yang masuk Islam, seperti Julius Germanus, Marmaduke Pickthall, Lord Headley, Frithjof Schuon, Rene Guenon, Martin Lings dan masih banyak lagi.
Dari sini dapat simpulkan bahwa kritik terhadap agama Islam oleh orientalis di abad ke 19 ini umumnya dilakukan oleh para mahasiswa/sarjanawan serta dengan metode yang ilmiah. Hal ini berbeda yang terjadi pada abad pertengahan, dimana kritik terhadap Islam dilakukan oleh para agamawan kristen dengan tujuan apologetika yang belum dikemas dalam rangka metodologi yang ilmiah.
Kemudian juga dapat dilihat bahwa semakin mereka mengenal Islam langsung kepada sumbernya maka paradigma terhadap agama Islam berubah, yang mana di era sebelumnya oleh agamawan kristen menganggap jika Islam bagian dari sekte kristen yang sesat, Nabi Muhamad penuh kebejatad bahkan pula memandang buruk terhadap Quran. Pada abad ke 19 ini mereka sudah melihat Islam secara jujur, bahwa Islam memang agama yang berdiri sendiri, nabi Muhammad seorang revolusionis yang cerdas serta Al-Quran bukan lagi dianggap kitab dongeng. Hal ini dapat dilihat seriusnya para sarjana barat dalam meneliti Quran.
Dari segi motivasi sendiri dapat dibagi kepada tiga. ada yang niatnya memang untuk menjatuhkan Islam, ada yang sebatas untuk keperluan penelitian kampusnya atau jabatan akademiknya, serta ada pula yang mendukung dan mensupport Islam bahkan sampai mualaf.
_______________
[1] Abd. Rahim, Sejarah Perkembangan Orientalisme, Jurnal Hunafa, Vol. 7, No.2, Desember 2010, hlm. 181-182
[2] Mustafa Siba'i, Akar-akar Orientalisme, terj. Ahmadie Thaha (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), 21
[3] Machfud Syaefudin, et al, Dinamika Peradaban Islam; Prespektif Historis (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), hlm. 142
[4] Adnin Armas, Metodologi Kritik Bible dalam Studi Al-Quran (Jakarta: Gema Insani, 2005) hlm. 19-20
[5] Adnin Armas, Metodologi Kritik ...., hlm. 36
Tidak ada komentar: