Ads Top

RAMBUT QAZA' DALAM AGAMA KRISTEN (TONSURE) SERTA HINDU (SHIKHA): Perintah Mencukur Rambut Dalam Berbagai Agama


Pada beberapa agama ada aturan khusus yang mengatur umatnya dalam memotong rambut, style dan model rambut yang diwajibkan atau dianjurkan. Namun aturan rambut ini ditujukan secara berbeda pada tiap-tiap agama. Terkadang hanya ditujukan kepada pemuka agama saja, atau kepada jenis kelamin tertentu, atau golongan tertentu bahkan pula mungkin bagi semua pemeluknya.

Dalam agama Islam sendiri juga memiliki aturan khusus dalam urusan rambut, namun Islam tidak memerintahkan umatnya agar memperlakukan rambut dengan model tertentu melainkan hanya sebatas batasan-batasan yang diperbolehkan. Dalam artian, Islam tidak melarang maupun memerintahkan umatnya untuk memanjang kan atau memendekkan rambut. Tapi Islam memiliki batasan dimana apabila memanjangkan atau memendekkan rambut jangan dengan niat menyerupai lawan jenis. Seperti laki-laki yang memanjangkan rambut agar menyerupai wanita maupun wanita yang memendekkan rambut agar menyerupai laki-laki.

Dalam kitab Syamail Muhammad karya Imam At-Tizmidzi yang merupakan kitab yang menjelaskan tentang peribadi nabi Muhammad, menjelaskan bahwa Rasulullah memiliki rambut yang panjang hingga menutupi kupingnya dan Beliau menggeraikan dan menyibaknya[1].

Sebagai bentuk kecintaan kepada Rasulullah ada sebagian umat muslim yang juga secara individual memanjangkan rambutnya dengan tujuan meneladani Beliau. Perkara ini juga dianggap sunnah yang diklasifikasikan sebagai sunnah ghairu tasyriiyah (sunnah yang tidak mengikat).

Kemudian pula, Islam juga mengatur cara memotong rambut, dimana Islam melarang umatnya melakukan Qaza’ yakni mencukur sebagian rambut dan membiarkan sebagian yang lainnya sebagaimana bunyi hadits Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qaza’.” (HR. Bukhari no. 5921 dan Muslim no. 2120)

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar mengatakan,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qaza’.” Aku (Umar bin Nafi’) berkata pada Nafi’, “Apa itu qaza’?” Nafi’ menjawab, “Qaza’ adalah menggundul sebagian kepala anak kecil dan meninggalkan sebagian lainnya.” (HR. Muslim no. 2120)

Dalam keterangan yang lain, Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa Imam as-Syairazi dan para ulama Mazhab Syafiiyah melarang melakukan Qaza'[2].

Walaupun Qaza’ ini terlarang dalam Islam. Sebaliknya, dalam iman Kristiani Qaza’ ini dipraktikkan sebagai bentuk nilai spiritual yang disebut Tonsur.

Tonsur ini merupakan bagian dari ritus sakral dalam Kristen Katolik Roma atau Ortodoks Timur saat seseorang menerima pentahbisan dan memasuki ordo klerikal kerohanian tertentu untuk mengabdi pada agama, dimana mereka harus mencukur sebagian atau seluruh bagian rambut kepalanya sebagai bentuk kerendahan hati dan menolak kenduniawan[3].

Tidak ada sejarah pasti mengenai asal-usul tonsur ini. Namun setidaknya ada tiga mazhab mengenai pola rambut tonsure ini dalam Kristen.

Pertama, Mazhab tonsur Romawi atau disebut pula tonsure St. Petrus dimana mereka hanya memotong bagian tengahnya saja dan meninggalkan bagian samping keliling kepala yang mereka sebut sebagai mahkota duri yang meniru mahkota durinya yesus saat disalib. Tonsur Romawi ini mengikuti ala St. Petrus sebagaimana yang digubah oleh Santo Germanus I bahwa Petrus dicukur paksa bagian atas kepalanya oleh penduduk Antiokhia sebagai bentuk penghinaan kepada dirinya itu. Dan kemudian umat Kristiani mengikuti pola rambut begitu sebagai bentuk penghormatan pada dirinya.

Kedua, Tonsur Timur dimana mereka mencukur seluruh kepalanya. St. Germanus mengatakan bahwa tonsur ini mengikuti St. Paulus dan St. Yakobus.

Kemudian Mazhab ketiga, dan ini yang dianggap paling aneh dalam dunia kekristenan. yakni Mazhab Tonsur Celtik atau dikenal tonsur St. Yohanes. Potongan rambut ini berbeda dengan membiarkan bagian tertentu. Gaya ini sendiri ditentang oleh pengikut mazhab tonsur lainnya[4].

Dalam Gereja Katolik, tonsur ini pula menjadi prasyarat saat memasuki dunia klerikal dalam ordo kecil maupun besar. Bagi mereka yang tidak mampu mempertahankan tonsurnya maka mereka akan dikeluarkan dari ordonya itu.

Praktik tonsur ini bermula pada abad pertengahan. Di Era modern model rambut tonsure ini mulai menghilang secara berangsur-angsur diakibatkan berbagai faktor seperti perang salib, reformasi martin luther, revolusi industri dan sebagainya. Hingga akhirnya pada tahun 1972, Paus Paulus VI melarang potongan rambut ini untuk setiap biarawan dan biarawati Gereja Katolik setelah sekian lama menghiasi dunia kekristenan[5].

Pada abad pertengahan, tonsur ini merupakan style rambutnya para biarawan yang memasuki dunia praktik monastisisme serta asketisme.

Monastisisme adalah pandangan atau sikap hidup menyendiri di suatu tempat dengan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Tujuannya hanya untuk bertapa tanpa niat untuk melakukan perubahan dan perbaikan masyarakat. Sedangkan Asketisme adalah pandangan atau sikap hidup keagamaan yang menganggap pantang segala kenikmatan dunia atau dengan penyiksaan diri dalam rangka beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan[6].

Praktik monastik dan asketik ini juga dianut oleh agama Budha khususnya oleh para biksu dan biksuni.

Para Biksu Budha memiliki aturan dimana rambut kepala mereka tidak boleh panjang dan harus dicukur setiap dua bulan sekali atau ketika rambut telah tumbuh hingga dua ujung jari. Seorang Biksu tidak boleh menggunakan gunting untuk memotong rambutnya. Sehingga pisau cukur merupakan salah satu dari delapan kebutuhan dasar seorang Biksu. Larang ini merupakan dampak dari aturan dimana seorang Bikhu tidak dibenarkan berdandan, mengatur rambutnya baik dengan sisir maupun dengan tangan[7].

Para rahib Kristiani menjalani hidup monastiknya dalam biara, begitu pula para biksu/biksuni, mereka menjalani hidup monastiknya dalam Wihara.

Selain Budha, ada satu agama yang juga lahir bersamaan dengan agama Budha dan juga mempraktikkan mencukur rambut sebagai praktik keagamaannya, yakni Agama Jainisme.

Sama seperti Kristen dan Budha, praktik ini dilakukan oleh mereka yang memasuki dunia monastik yang dilakukan oleh para Sadhu[8].

Para Sadhu Jainism juga diperintahkan untuk menggunduli kepalanya. Bedanya, jika para biarawan Katolik dan biksu Budha mereka menggundulinya dengan mencukur. Maka para Sadhu dari agama Jainis ini mengunduli kepala mereka dengan mencabutnya secara langsung dengan tangannya.

Ritual ini dilakukan saat hari inisiasi mereka atau disebut Diksa. Setelah inisiasi, para pertapa Jain tidak boleh memotong rambut mereka serta pula ke tukang pangkas. Sekali atau dua kali dalam setahun mereka mencabut rambutnya atau dicabut oleh orang lain. Ritual menyakitkan ini disebut Keshlochan atau Loch. Rasa sakit yang mereka rasakan harus ditanggung dengan tenang dan dengan cara yang tenang pula[9].

Selain itu mereka juga dilarang mandi, sikat gigi, makan sekali sehari, makan dalam kondisi berdiri, tidur dilantai, tidak beralas kaki, tidak minum sebelum matahari terbit, tidak memasak dan hanya terima makanan sumbangan tapi tidak boleh makanan yang khusus disiapkan kepada mereka[10].

Model rambut seperti tonsur juga terdapat dalam agama Hindu. Dalam Hindu disebut Sikha atau juga disebut Cuda dimana mereka membiarkan rambut jambul di tengah kepalanya.

Dalam Hindu terdapat ritual yang disebut Chudakarana. Chudakarana merupakan ritual memotong rambut seorang anak yang merupakan sakramen penting dalam Hindu. Dengan harapan memberikannya umur panjang serta kebahagiaan. Biasanya dilakukan bagi mereka yang anaknya sudah memasuki usia satu atau tiga tahun. Rambut yang dipotong kemudian meninggalkan jambul di tengah kepalanya yang disebut shikha. Jambul ini atau sikha menjadi simbol umum bagi umat Hindu[11].

Jambul ini kemudian tetap dipertahankan hingga dewasa khususnya bagi yang berkasta Brahmana[12] dimana kasta ini umumnya dari golongan pemuka agama. Di wilayah barat India, gaya rambut shikha sering terlihat dikenakan oleh penganut gerakan Hare Krishna. Menurut keyakinan Hindu, ketika jasad mayat laki-laki mereka dikremasi maka ruh akan keluar melalui ubun-ubun rambut ini dan menuju nenek moyang mereka[13].

Hal ini berbeda seperti yang dianut oleh para pertapa yang mempraktikkan asketik dalam hidupnya, mereka mengunduli seluruhnya atau bahkan membiarkannya panjang. Namun, tidak memiliki sikha atau cuda bukan berarti dia bukan Hindu[14]. Bagi para pertapa dari sekte Syaiwa maupun Waisnawa mereka menggunakan rambut gimbal dan membiarkan panjang yang disebut Jata.

Upacara ritual serupa Chudakarana ini juga terdapat dalam agama Yahudi yang disebut Upserin.

Upsherin adalah upacara ritual pemotongan rambut, bersumber dari ajaran Kabbalis ketika seorang anak sudah berusia tiga tahun[15]. Pada ritual ini sanak keluarga memotong rambut sang anak dan meninggalkan rambut jambangnya yang disebut payot. Ada tradisi dimana mereka akan mendonasikan uang seberat rambut yang dipotong. Selain itu perayaan ini menandakan masuknya seorang anak kedalam pendidikan formal dan awal mula penggunaan tallit katan yang biasanya digunakan oleh lelaki Yahudi taat[16].

Tradisi ini merupakan upacara yang relatif modern dan diketahui sejak abad ke 17[17]. Hal ini sebagaimana yang diyantakan oleh profesor antropologi dan psikologi di Universitas Ibrani Yerusalem yang bernama Yoram Bilu. Menurutnya praktik ini tidak ada dasarnya dalam tradisi keagamaan Yahudi. Melainkan merupakan adopsi dari tradisi keagamaan Islam oleh Yahudi yang hidup berdampingan dengan Muslim seperti Yahudi di Palestina, Maroko maupun di Spanyol[18].

Tradisi ini dalam Islam dikenal dengan Aqiqah, dalam kitab I'anatu at-Thalibin disebutkan sebagai berikut: "Aqiqah secara bahasa maknanya adalah rambut yang ada di kepala bayi ketika lahir. Adapun secara istilah aqiqah adalah hewan yang disembelih untuk sang bayi pada saat rambut bayi tersebut dipotong. Salah satu hikmah adanya syariat aqiqah adalah untuk menampakkan rasa kegembiraan, kenikmatan dan menyebarkan nasab.[19]"

Dalam Islam khususnya madzhab Syafiiyah selain aqiqah disunnahkan juga untuk mencukur rambut bayi yang baru lahir di hari ke 7.

Kenapa rambut bayi harus dicukur? ternyata alasannya adalah bahwa rambut bayi yang baru lahir itu membawa penyakit atau kotoran. Oleh sebab itu harus dibersihkan dengan cara dicukur.

Rambut yang dicukur itu akan disedekahkan seberat rambut yang dipotong dengan emas atau perak. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Majmu' Syarh al-Muhadzdzab berdasarkan hadits riwayat Imam malik dan Imam al-Baihaqi bahwa Fatimah bersadaqah perak ketika Hasan & Husain dicukur rambutnya[20]. Namun perlu digaris bawahi bahwa Aqiqah merupakan sunnah bukan wajib.

Jikalau aqiqah diperuntukkan bagi anak-anak, maka praktik mencukur dalam konteks agama yang dilakukan oleh orang-orang dewasa yakni tahallul pada akhir ibadah haji.

Tahallul sendiri merupakan rukun terakhir dalam ibadah haji. Tahallul yakni mencukur rambut paling sedikit tiga helai. Setelah melaksanakan tahallul, maka segala apa yang dilarang selama berihram menjadi halal atau boleh dikerjakan[21].

Namun ada kebiasaan dimana umumnya bagi mereka yang melaksanakan haji untuk mengunduli kepalanya saat melakukan tahallul. Hal ini dimotivasikan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau menggundul rambutnya saat haji dan umrahnya. Begitu pula hal ini dilakukan oleh para sahabat beliau. Di antara mereka ada yang menggundul habis saat tahallul, ada pula yang memendekkannya. Namun menggundul habis saat tahallul lebih utama daripada memendekkan. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan,

“Ya Allah, ampunilah mereka yang menggundul habis.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau cuma sekedar memendekkan?” Beliau masih bersabda, “Ya Allah, ampunilah mereka yang menggundul habis.” Para sahabat balik bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cuma sekedar memendekkan?” Beliau masih bersabda, “Ya Allah, ampunilah mereka yang menggundul habis.” Para sahabat kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cuma sekedar memendekkan?” Baru beliau menjawab, “Dan juga bagi yang memendekkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pada para sahabat yang tidak membawa hadyu (hewan sembelihan) saat haji wada’ agar memendekkan rambut kepalanya selepas umrah yaitu saat itu melakukan thawaf keliling Ka’bah dan bersa’i dari Shafa dan Marwah. Kemudian selepas melakukan haji, barulah mereka menggundul habis rambut kepalanya. Jadi ketika itu digabunglah antara memendekkan dan menggundul habis[22].

Namu perlu digaris bawahi bahwa tahallul tidak dapat disamakan dengan ritual tonsure, keshlochan, shikha serta pula yang ada dalam sangha bhiksu Budha. Dikarenakan pola rambut tonsure seperti tonsure Romawi atau tonsure Celtik serta sikha merupakan bentuk Qaza’ yang terlarang dalam Islam. Adapun tonsure timur, keshlochan serta praktik botak dalam Budha diasosiasikan pada praktik monastic dan asketik, sedangkan tahallu hanya salah satu rukun ibadah haji. Wallahualam.
_______________
[1] Lihat, Imam Tarmidzi, Syamail Muhammad, Terj. Nila Noer Fajariyah (Ummul Qura, 2019) hlm. 33

[2] Muhammad Ajib, Fiqih Aqiqah Perspektif Madzhab Syafiiy (Rumah Fiqih Publishing, 2020) hlm, 58

[3] https://www.britannica.com/topic/tonsure

[4] Daniel McCarthy, On the Shape of the Insular Tonsure, 2003, Celtica: 24 hlm. 140–167

[5] https://en.wikipedia.org/wiki/Tonsure

[6] Abdurrahman Misno, Falsafah Ekonomi Syariah (Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani, 2020) hlm. 105

[7] Thanissaro, The Buddhist Monastic Code: The Khandhaka rules (Metta Forest Monastery, 2007) hlm. 13-14

[8] Lihat Padmanabh S. Jaini, Gender and Salvation: Jaina Debates on the Spiritual Liberation of Women (University of California Press: 1991) hlm. xxviii

[9] Lynne Hume, The Religious Life of Dress (Bloomsbury, 2013) hlm. 103

[10] JAINA Education Committee, Compendium of Jainism (Jain Educational international, 2021) hlm. 46

[11] Sunil Sehgal, Encyclipaedia Of Hinduism (Sarup & Sons, 1999) hlm. 1067

[12] Gautam Chatterjee, Sacred Hindu Symbols (Abhinav Publications, 2001) hlm. 49

[13] Axe Michaels, Hinduism Past and Present (Princeton University Press, 2000) hlm. 86

[14] Auguste Barth, The Religions of India (Harvard University, 1882) hlm. 270

[15] Petra van der zande, Remember Observe Rejoice (Lulu, 2017) hlm. 44

[16] Barbara Binder Kadden & Bruce Kadden, Teaching Jewish Life Cycle (Behrman House, 1997) hlm. 27

[17] Petra van der zande, Remember Observe …. hlm. 44

[18] https://en.wikipedia.org/wiki/Upsherin#cite_ref-3

[19] Muhammad Ajib, Fiqih Aqiqah Perspektif Madzhab Syafiiy (Rumah Fiqih Publishing, 2020) hlm. 9-10

[20] Muhammad Ajib, Fiqih Aqiqah …. hlm. 54

[21] Fathkur Rahman, Pintar Ibadah (Pustaka Media) hlm. 171

[22] https://rumaysho.com/8180-hukum-gundul.html

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.