Ads Top

SEKTE-SEKTE AGAMA YANG PENGIKUTNYA TELANJANG: Praktik Asketisme & Monastisisme dalam Agama

Ketelanjangan dimuka umum merupakan hal yang tabu menurut nilai-nilai norma, moral dan kesopanan yang dianut oleh budaya timur khususnya Indonesia. Hal ini selalu diasosiasikan kepada perilaku amoral dalam lingkungan sosial baik hal ini ditujukan kepada perilaku pornografi maupun praktik agama sekalipun.

Namun fenomena ini mengalami pergeseran nilai jika ditinjau dari kronologi waktu. Di Bali contohnya, pada era kolonialisasi wanita Bali umumnya bertelanjang dada baik keseharian maupun ibadah. Hingga akhirnya pemerintah Hindia-Belanda membuat aturan agar wanita Bali mulai menutup dadanya[1]. Lebih lanjut sampai sekarang ketelanjangan masih dipraktikkan oleh suku-suku tertentu di Papua sebagai bentuk kearifan lokal dan budaya setempat.

Sebenarnya stigma ketabuan telanjang dimuka umum dipengaruhi oleh nilai dan norma dari suatu agama yang mempengaruhi budaya setempat.

Kawasan yang memiliki pemeluk dan sejarah yang panjang dengan agama Islam akan memandang hal ini merupakan bentuk yang sangat dilarang dan tabu. Mengingat dalam agama Islam sangat melarang hal yang berkaitan ketelanjangan di muka umum.

Aturan yang mengatur cara berpakaian dalam Islam disebut hukum Syar’i, dari kata Syari’at. Syari’at atau Syari’at Islam merupakan hukum keagamaan Islam yang mengatur tiap sendiri kehidupan seorang muslim.

Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah membagi jenis pakaian ada dua, pakaian wajib yakni pakaian yang berfungsi untuk menutup aurat (primer) serta pakaian sunnah yakni pakaian penghias (sekunder)[2].

Aturan berpakaian ini juga ada dalam agama Yahudi yang disebut Tzniut. Tzniut merupakan nilai moral dan etika kesopanan dalam Yahudi, dewasa ini dipahami sebagai aturan berpakaian bagi wanita Yahudi[3]. Namun aturan ini hanya dianut oleh Yahudi Ortodoks. Sekte Yahudi lain seperti Yahudi reformis dan Konservatif sudah meninggalkan aturan ini.

Hal yang sama juga berlaku kepada agama Kristen. Kristen juga melarang umatnya dari praktik telanjang di muka umum dan merupakan bagian dari nilai moral dan etika. Dalam 1 Korintus menjelaskan bahwa Paulus menganjurkan jemaat wanitanya agar menutup kepala[4]. Dan hal ini masih terlihat dalam gereja-gereja Ortodoks serta Katholik oleh para biarawati.

Walaupun Kekristenan melarang praktik ketelanjangan, pada abad ke-2 ditemukan sebuah sekte Kristen yang penganutnya bertelanjang sebagai bentuk simbol kerohanian yang dikenal kelompok Adamite. Santo Austinus dari Hippo dan Santo Epifanius dari Salamis menjelaskan bahwa mereka menyebut gerejanya dengan nama Firdaus serta menolak pernikahan[5]. Namun sekte ini tidak bertahan lama, karena digerus oleh sekte-sekte lain yang lebih dominan.

Pada tahun 1421, seorang bernama Peter Kanis memisahkan dirinya dari kelompok Taborite. Taborite merupakan fraksi radikal dari gerakan Hussite. Gerakan Hussite sendiri merupakan gerakan reformasi di Ceko yang menentang otoritas Gereja Katolik dan juga salah satu dari awal gerakan Kristen Protestan.

Peter Kanis memisahkan dirinya dari kelompok ini dan bersama 200-300 pengikutnya menciptakan komunitas baru yakni Neo-Adamite. Namun pada musim panas dan musim gugur tahun 1421 mereka dimusnahkan dengan dibakar oleh komandan Taborite[6].

Kemudian pada tahun 1535 di Amsterdam Belanda ada sekelompok pengikut Anabaptis berjumlah 11 orang berlari telanjang di jalan-jalan untuk memproklamasikan "kebenaran telanjang" namun akhirnya mereka kemudian dieksekusi mati. Kelompok ini dikenal dengan istilah Naaktloopers yang artinya Naked Walkers[7].

Lebih lanjut tentang topik ini, lihat The Heresy of the Free Spirit in the Later Middle Ages, oleh Robert Lerner dan A History of the Hussite Revolution, oleh Howard Kaminsky.

Di era modern, gerakan telanjang dipelopori oleh Kurt Barthel pada tahun 1930 dengan mendirikan organisasi nudist (telanjang) pertama di Amerika dengan nama The American League for Physical Culture (ALPC)[8]. Pada tahun 1932, akhirnya seorang pendeta Gereja reformasi di New Jersey bernama Ilsley Boone diangkat menjadi ketua organisasi telanjang ini dan mengganti menjadi American Sunbathing Association (ASA)[9]. Pada tahun 1933 ia menerbitkan majalah gerakan telanjang pertama yang dengan Henry S. Huntington sebagai editornya. Henry sendiri sebagai seorang pendeta Presbiterian[10].

Pada tahun 1937 seorang pendeta dari Gereja Episkopal Methodits bernama Elton Raymond Shaw menulis sebuah buku dengan judul The Body Taboo: Its Origins, Effects and Modern Denial untuk mendukung gerakan telanjang[11].

Akan tetapi pada tahun 1930, dua tahun sebelum pendeta Ilsey Boone diangkat menjadi presiden gerakan telanjang di Amerika. Paus Pius XI  telah mengutuk keras gerakan naturisme ini dan menyebutnya sebagai perbuatan penyembah berhala yang tidak bermoral[12].

Namun padangan Kristen mengenai ketelanjangan cukup beragam. Hal ini dikarenakan pada tahun 1981 -51 tahun setelah Paus Pius XI mengutuk gerakan Naturime dalam Kristen- Paus Yohanes Paulus II menulis buku Love and Responsibility dan mengatakan bahwa ketelanjangan itu sendiri bukanlah hal yang tidak sopan. Ketidaksopanan hanya ada jika ketelanjangan memainkan peran negatif berkaitan dengan nilai seseorang, ketika tujuannya adalah untuk membangkitkan nafsu birahi, akibatnya orang tersebut ditempatkan pada posisi sebuah objek untuk kesenangan [13].

Pandangan ini mungkin menjadi angin segar kepada gerakan telanjang atau Naturisme dalam Kristen yang digagas oleh Pendeta Ilsey Boone serta Pendeta Henry S. Huntington. Bahkan dalam koran The New York Times, 17 Februari 1981 Pendeta Henry S. Huntington disebut-sebut sebagai pioner gerakan telanjang di Amerika. Oleh karenanya gerakan ini juga dikenal Naturisme Kristen.

Pada tahun 2014, NBC melaporkan adanya sebuah gereja di Virginia yang jemaatnya bertelanjang setengah atau telanjang seluruhnya dalam prosesi beribadah. Gereja ini dipimpin oleh pendeta Allen Parker. Mereka mengklaim bahwa Jesus telah melewati moment-moment pentingnya dalam keadaan telanjang seperti saat ia dilahirkan dan ketika ia meninggalkan kuburan ia juga telanjang. Mereka menjadikan ini sebagai alasan pembenarannya[14].

Fenomena ini akan dipandang berbeda di India, disini ketelanjangan yang diasosiasikan pada praktik spiritualisme akan dipandang lumrah. Hal ini dikarenakan setidaknya ada dua agama di India yang menjadikan ketelanjangan sebagai praktik spiritual yakni agama Hindu dan Jainism.

Praktik ini merupakan bagian bentuk penerapan konsep monastisisme serta asketisme dalam agama. Monastisisme adalah pandangan atau sikap hidup menyendiri di suatu tempat dengan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Tujuannya hanya untuk bertapa tanpa niat untuk melakukan perubahan dan perbaikan masyarakat. Sedangkan Asketisme adalah pandangan atau sikap hidup keagamaan yang menganggap pantang segala kenikmatan dunia atau dengan penyiksaan diri dalam rangka beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan[15].

Para pelaku asketisme (pantangan duniawi) dan monastisisme (kebiarawan) di India disebut dengan Sadhu bagi laki-laki dan Sadhvi bagi perempuan. Sadhu merupakan sant (santo) yakni orang yang dianggap suci, pertapa dan melakukan disiplin asketik[16]. Mereka terkadang hidup dalam biara (mathas), terkadang pula mengembara[17]. Petapa dari kalangan Jainism juga dikenal dengan istilah ini[18].

Praktik asketisme hingga bertelanjang dalam Hindu dilakukan oleh para Sadhu dari sekte Syaiwa yang disebut Naga Baba. Syaiwa merupakan sekte dalam Hindu yang menitik beratkan pada pemujaan dewa Siwa[19]. Naga Sadhu atau Naga Baba memiliki arti “bapak yang telanjang”, sedangkan untuk wanitanya disebut Naga Mais[20]. Mereka biasanya membawa talwar (pedang), trishul (trisula), bhala (lembing) atau senjata semacam itu, kemudian badan mereka dilumuri abu (bekas kremasi mayat) dan rambut yang gimbal[21].

Mereka sangat sulit ditemukan. Bahkan diantara orang-orang yang hindupnya mempraktikkan asketism juga, Naga baba berada pada golongan paling ujung dan ekstrim sebagai pertapa yang ganas. Mereka telah meninggalkan hampir semua yang kita bisa bayangkan[22].

Satu-satunya kesempatan untuk bertemu mereka adalah saat perayaan Kumbha Mela. Festival ini adalah festival keagamaan Hindu terbesar di dunia dan dilaksanakan selama tiga hari di sungai Gangga. Pada tiap 12 tahun sekali didakan perayaan besar yang disebut Maha Kumbha Mela yang dilaksanakan di Prayag, yang dapat dihadiri sampai 60 juta orang. Tradisi ini mengumpulkan orang paling banyak di dunia dalam satu waktu sekaligus [23].

Selain Hindu, praktik monastik seperti ini juga ada dalam agama Jainism, tepatnya dipraktikkan oleh para Sadhu dari sekte Dirgambara.

Jainisme sama seperti agama Budha dan merupakan jenis agama Trantheistik[24]. Agama Trantheistik Yakni agama yang tidak bertuhan tetapi juga menganggap esensi tuhan itu ada. Transtheistik berpendapat bahwa alam semesta tidak diciptakan, dan akan ada selamanya[25]. Jainisme juga sama seperti hindu dan budha yang merupakan bagian dari agama dharma sehingga agama ini secara tradisional dikenal dengan nama Jain Dharma. Hindu, Budha dan Jainism sama-sama mempraktikkan pertapaan.

Para pengikut Jain harus melakukan sumpah yang berisi 5 hal; Ahimsa, yakni tidak melakukan kekerasan; satya, yakni kebenaran dan tidak berbohong; asteya, yakni tidak mencuri; brahmacharya, yakni tidak menikah; dan aparigraha, tidak memiliki rasa ketertarikan pada harta benda duniawi[26].

Dari keyakinan seperti itu, secara logika dapat ditebak seorang penganut Jain tidak akan membajak tanah. Bahkan sebenarnya, para penganut Jain tidak berkecimpung di bidang agrikultur. Oleh karena itu, banyak jenis-jenis pekerjaan yang melibatkan pekerjaan buruh manual dilarang oleh agamanya[27].

Agama Jain sendiri terdiri dari dua sekte; Digambara dan Swetambara. Digambara berarti "berpakaian langit" yang menunjukkan bahwa pengikut sekte ini tidak berpakaian atau telanjang. Sedangkan Swetambara berarti "berpakaian putih" yang merupakan sekte Jain yang agak lebih lunak. Walau begitu, umumnya pengikut Digambara dari golongan laki-laki, itu dikarenakan menurut pandangan mereka hanya laki-lakilah yang bisa mendapatkan moksa. Sehingga para pertapa dari wanita lebih banyak berasal dari sekte Swetambara karena bagi mereka wanita dapat memperoleh pencapaian itu [28]. Namun bagi Dirgambara, seorang wanita harus terlahir kembali (reinkarnasi) dalam wujud laki-laki untuk mencapai pembebasan jiwa [29]. Swetambara meyakini bahwa Tirthankara (Maha Guru Dharma) ke-19 yakni Malinath adalah seorang wanita, pandagan ini ditolak oleh Digambara [30].

Karena hidup yang asketik, Digambara tidak memiliki harta apapun bahkan alas kaki. Mereka hanya memiliki sebuah sapu dari bulu merak yang jatuh untuk menyapu serangga agar tidak terinjak dan cidera yang disebut Picchi. Mereka juga hanya memiliki Kamandalu, yakni semacam pot air serta Sastra yakni semacam kitab [31]. Untuk makan para pertapa Digambara menunggu uluran tangan untuk makan. Bahkan mereka tidak memiliki mangkuk mengemis (seperti biksu Budha serta Swetambara) sehingga mereka harus menerima makanan sumbangan dari tangan mereka [32].

Swetambara memakai pakaian putih, satu helai untuk melilit bagian bawah menjadi sarung, serta satu helai untuk melilit bagian atas. Mereka diharuskan memiliki mangkuk untuk menerima sumbangan makanan. Mereka juga terlihat memakai penutup mulut dan hitung yang mirik masker, gunanya untuk menghindari terhirupnya serangga kecil yang dapat membuat serangga itu terbunuh [33].

Secara umum tradisi Svetambara dan Digambara memiliki beberapa perbedaan sejarah mulai dari cara berpakaian, kuil dan ikonografi, sikap terhadap biarawati Jain, legenda mereka, dan teks yang mereka anggap penting.

Selain Hindu dan Jainism, agama Buddhism juga merupakan bagian dari ajaran dharmik. Namun dalam sistem monastik Budha, para biksu tidak dibenarkan tampil dimuka umum dalam keadaan semi-telanjang maupun telanjang. Para Biksu Budha diharuskan memakai jubah yang disebut Kasaya, terdiri dari tiga bagian; Antarvasa untuk bagian bawah, Uttarasanga menutupi bagian atas dan Samghati yang menjadi jubah luar. Ketiganya membentuk "tiga jubah," atau disebut tricivara [34].

Monastisisme juga dianut oleh agama Kristen, namun konsep kebiarawan Kristen tidak mencapai tingkat harus bertelanjang diri sebagai bagian dari praktik asketisme. Max Weber dalam The Sociology of Religion mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad menolak konsep monastisisme [35], hal ini juga diaminkan oleh Abdurrahman Misno dalam buku Falsafah Ekonomi Syariah bahwa agama Islam menolak konsep monastik dan asketik [36]. Hal ini dikarenakan Islam mengajarkan untuk hidup bersosial dan menjalin tali ukhuwah sebagai bentuk hablum minan-nas daripada menyendiri menjauh dari masyarakat dalam praktik monastisisme. Begitu pula, Islam tidak membenarkan umatnya terlalu ekstrim dalam beribadah sehingga membuat pelakunya tidak nikah, makan, bekerja dan lain sebagainya. Islam memandang hal ini sebagai bentuk ghuluw (berlebihand alam agama), tanaththu' (sikap ekstrim), tasyaddud (memberat-beratkan diri), i'tida' (melampau) dan takalluf (memaksa diri).

Diceritakan pernah ada tiga orang di zaman Nabi ingin mengetahui aktifitas ibadah Rasullah di rumahnya. Mereka tidak bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka bertanya kepada ummahatul mukminin ‘Aisyah tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka merasa ibadah Raulullah hanya sedikit. Mereka berkata: “Dimanakah kedudukan kami dibanding dengan Nabi!? Padahal telah diampuni dosa-dosa beliau yang lalu maupun yang akan datang.” Maka salah seorang dari mereka berkata: “Aku akan shalat malam terus menerus tidak akan tidur.” Yang lain berkata: “Aku akan puasa terus menerus tanpa berbuka.” Dan yang lain berkata: “Aku tidak akan menikah selama-lamanya.”

Maka kemudian Rasulullah mendatangi mereka seraya mengatakan: “Kaliankah yang mengatakan begini dan begini?! Adapun diriku, demi Allah Azza wa Jalla , aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa aku juga berbuka, aku shalat dan aku juga tidur serta aku menikahi wanita! Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku. [37]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda. "Sesungguhnya agama ini mudah, tidaklah seseorang berlebih-lebihan dalam menjalankan agama kecuali ia akan keberatan sendiri. Tepatillah kebenaran atau yang mendekatinya, berilah kabar gembira, dan pergunakanlah waktu pagi, waktu sore dan malam hari untuk memudahkan perjalananmu” [38].

Satu-satunya konsep yang dianggap sepadang dengan praktik asketik dalam Islam adalah zuhud. Dalam kitab Madarij as-Salikin, Ibn Qayyim mengutip pendapat gurunya Ibn Taimiyah mengenai zuhud, bahwa zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat.

Praktik zuhud dalam Islam tidak seekstrim asketisme agama lainnya. Islam tetap memandang bahwa manusia tidak boleh apatis terhadap dunia, namun pula tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Dalam surat Al-Qashash ayat 77 Allah ta'ala berfirman, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Ayat ini menjelaskan bahwa akhirat memang telah disediakan sebagai tempat kembali, namun sebelumnya manusia juga ditakdirkan hidup di dunia. Dengan begitu, sebagaimana akhirat harus dipersiapkan, dunia juga harus dijadikan tempat mempersiapkan hidup di akhirat kelak. Wallahualam.
_______________
[1] Marilyn Thornton Williams (1991). Zane L. Miller; Henry D. Shapiro (eds.). Washing 'The Great Unwashed' Public Baths in Urban America, 1840–1920. Urban Life and Urban Landscape Series. Columbus: Ohio State University Press.

[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 1, Terj. Abu Aulia dan Abu Syauqina (Jakarta: Republika Penerbit, 2017) hlm. 215

[3] Bloch, Emmanuel (2018). "Immodest Modesty: The Emergence of Halakhic Dress Codes". Studies in Judaism, Humanities, and the Social Sciences. 2 (1).

[4] Jeanne Becher, Perempuan, Agama & Seksualitas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) hlm. 325

[5] Chisholm, Hugh, ed, “Adamites". Encyclopædia Britannica . 1 (edisi ke-11th) (Cambridge University Press, 1911) hlm. 174.

[6] Norman Cohn, The Pursuit of the Millennium (New York: Oxford Univrsity Press, 1970) hlm. 220

[7] Gary K. waite, Reformers on Stage (University Of Toronto Press,2000) hlm. 85

[8] https://en.wikipedia.org/wiki/Kurt_Barthel

[9] Lionel De Leon, United States Facts and Dates (Lulu, 2008) hlm. 41

[10] Thomas W. Ennis, “Henry S. Huntington, Pioneer Of Nudism In U.S., 99”, Koran The New York Times, 17 Februari 1981; https://www.nytimes.com/1981/02/17/obituaries/henry-s-huntington-pioneer-of-nudism-in-us-99.html

[11] https://en.wikipedia.org/wiki/Elton_Raymond_Shaw

[12] "Religion: Pope on Nudism". Majalah TIME. 18 Maret 1935.

[13] Patrick Joseph Hession, Christian Homebuilding For Women (Lulu, 2017) hlm. 35

[14] https://www.nbc12.com/story/24677504/nudist-church/

[15] Abdurrahman Misno, Falsafah Ekonomi Syariah (Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani, 2020) hlm. 105

[16] Klaus K. Klostermaier, A Survey of Hinduism: Third Edition (New York: State University of New York Press, 2007) hlm. 299

[17] Brian Duignan, Sadhu and swami, Encyclopædia Britannica; https://www.britannica.com/topic/sadhu

[18] Lihat Padmanabh S. Jaini, Gender and Salvation: Jaina Debates on the Spiritual Liberation of Women (University of California Press: 1991) hlm. xxviii

[19] Santo Saba Salomo, Borobudur Bukan Candi (Nahima Press, 2016) hlm. 209

[20] Philip Carr-Gom, A Brief History Of Nakedness (London: Reaction Books, 2010) hlm. 65

[21] Gautam Siddharth, "Nagas: Once Were Wariors", Majalah The Times Of India, 15 Januari 2013; https://timesofindia.indiatimes.com/city/allahabad/nagas-once-were-warriors/articleshow/18026313.cms

[22] Gopi Kallayil, The Internet to the Inner-Net (Hay House, 2016) hlm. 56

[23] https://id.wikipedia.org/wiki/Kumbha_Mela

[24] Geoffrey Parrinder, Avatar and Incarnation: The Divine in Human Form in the World's Religions (Oneworld Publications, 1997) hlm. 14

[25] von Glasenapp, Helmuth, Jainism: An Indian Religion of Salvation [Der Jainismus: Eine Indische Erlosungsreligion], Shridhar B. Shrotri (terjemahan) (Delhi: Motilal Banarsidass, 1999) hlm. 241

[26] Siti Nadroh, Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor (Jakarta: Paramedia Group, 2015) hlm. 146

[27] Michael Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia (Jakarta: Mizan) hlm.530

[28] Peter Adamson & Jonardon Ganeri, Classical Indian Philosophy: A History of Philosophy Without Any Gaps, Volume 5 (Oxford University Press, 2020) hlm. 72

[29] Christine E. Gudorf, Comparative Religious Ethics: Everyday Decisions for Our Everyday Lives (Fortress Press, 2013) hlm. 103

[30] Don Lewis-Highcorrell, Witch School Second Degree: Lessons in the Correllian Tradition (Llewellyn, 2008) hlm. 431

[31] Steven Olderr, Dictionary of World Monasticism (North Carolina: McFarland, 2020) hlm. 63

[32] Christine E. Gudorf, Comparative Religious Ethics...., hlm. 103

[33] Don Lewis-Highcorrell, Witch School Second Degree...., hlm. 430

[34] Sir Monier Monier-Williams, Buddhism in Its Connexion with Brāhmanism and Hindūism (London: John Murray, 1890) hlm. 83

[35] Max Weber, Sosiologi Agama, terj. Yudi Santoso (Yogyakarta: Diva Press, 2019) hlm. 484

[36] Abdurrahman Misno, Falsafah Ekonomi...., hlm. 105

[37] Muttafaqun 'Alaih

[38] Hadits Riwayat Al-Bukhari kitab Al-Iman hadits no. 39, Lihat Fathul Bari I/93

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.