Ads Top

BANTAHAN AYAT DONGENG (ASATIR) DALAM QUR'AN

 

Dongeng atau sesuatu yang mengandung mitos dalam bahasa Al-Quran disebut dengan Asatir. Kata tersebut merupakan jamak dari usturah. Jika dilihat dari kamus bahasa Arab, yaitu al-Munjid fil al-Lughah wa al-A’lam, kata asatir mempunyai arti cerita atau hikayah yang mengandung unsur imajinasi atau khayalan dari seorang pengisah [1]. Begitu juga dalam kamus al-Munawwir diterangkan, bahwa kata asatir diartikan sebagai hikayat, cerita yang tidak ada asal-usulnya [2].

Muhammad Ahmad Khalafullah dalam bukunya Al-Fann al-Qaṣaṣi fī al-Qur’ān al-Karīm kemudian membentangkan beberapa ayat yang berhubungan dengan tema unsur mitos dalam Al-Quran. Yakni: al-An'am: 25, al-Anfal: 31-32, an-Nahl: 24, al-Mu'minun: 83-84, al-Furqan: 5-6, an-Naml: 67-68, al-Ahqaf: 17, al-Qalam: 10-15, al-Muthaffifin: 10-13. 

Kesemua ayat-ayat ini mengandung redaksi yang mirip dengan bunyi asatirul awwalin yang berarti “(ini adalah) dongeng-dongeng dari umat terdahulu”. Ayat ini menceritakan respon non-muslim ketika itu saat mendengarkan isi kandungan Al-Quran. Lantas hal apa saja yang mereka anggap sebagai bentuk dongeng dalam Al-Quran?.

Kalau dicermati, ayat-ayat tematik di atas diklasifikasikan sebagai ayat Makkiyah kecuali surat al-Anfal: 31-32 yang diklasifikasikan Madaniyah. Ayat-ayat Makkiyah merupakan sebutan kepada ayat-ayat yang diturunkan di kota Mekkah dan ayat-ayat Makkiyah ciri khasnya membahas soal dakwah dan aqidah, sedangkan ayat-ayat Madaniyah merupakan ayat yang turun di kota Madinah atau pasca Hijrah Rasul, ciri khasnya lebih banyak membahas tentang hukum syariat Islam dan ayatnya panjang-panjang.

Adapun mengenai surat al-Anfal: 31-32 jika ditinjau dari asbabun nuzulnya, ayat ini bukan merupakan ayat yang diturunkan atas respon masyarakat Madinah (yang mayoritas Yahudi dibanding pagan) terhadap kisah-kisah dalam Al-Quran melainkan ayat yang mengenang akan respon musyrikin Mekkah terhadap ayat Quran (khususnya tentang kisah). Di mana ungkapan “mereka” pada ayat ini merujuk kepada musyrikin Mekah khususnya kepada An-Nadr bin Al-Harits yang tertangkap dalam perang Badar.

Diceritakan dalam Asbabun Nuzul ayat tersebut, An-Nadr tertangkap saat perang Badar. lantas kemudian Rasulullah menghadap padanya dan mengatakan bahwa dahulu An-Nadr pernah mengatakan perkataan keji terhadap Al-Quran (yakni, mengatakan Quran sebagai dongeng) [3]. 

Kalau dicermati lebih lanjut, setengah dari ayat-ayat yang disebutkan diatas memiliki konteks pembicaraan tentang pengingkaran hari kebangkitan seperti yang disebutkan al-Mu'minun: 83-84, an-Naml: 67-68, al-Ahqaf: 17, dan al-Muthaffifin: 10-13.

Dari sini dipahami yang dimaksud “dongeng” oleh musyrikin Mekkah ketika itu adalah kabar akan adanya hari kebangkitan setelah kematian. Itu dikarenakan musyrikin Mekkah tidak mengakui akan adanya kehidupan lagi setelah kematian, sehingga ayat-ayat yang bercerita tentang hari kebangkitan terdengar seperti sebuah mitos bagi mereka.

Dari fakta ini dapat memahami kenapa biasanya ayat yang berceritakan agar beriman kepada Allah digandengan dengan redaksi beriman kepada hari akhir dan kebangkitan juga sebagaimana yang berbunyi dalam surat Al-Baqarah: 62, 126, 177, Ali Imran: 114, An-Nisa: 38, 39, 59, 136, 162, At-Tawbah: 18, 19, 29, 99 dan Al-Ahzab: 21.

Sedangkan mayoritas ayat-ayat lain di atas seperti al-An'am: 25, al-Anfal: 31-32, an-Nahl: 24, al-Furqan: 5-6, al-Qalam: 10-15 menceritakan konteks yang lebih umum seperti kisah-kisah umat terdahulu dan ajaran-ajaran yang serupa dengan umat-umat terdahulu. 

Namun ayat-ayat yang berbunyi persoalan respon “dongeng” terhadap Al-Quran ini tidak dijumpai lagi selepas Rasulullah hijrah ke Madinah. Fenomena ini menemukan titik terangnya, mengingat mayoritas penduduk Madinah merupakan ahli kitab dari kalangan Yahudi yang mana dalam hal ini mereka memiliki koherensi dengan ajaran dan isi Al-Quran.

Itu karena pertama, ajaran Yahudi dan Islam sama-sama mengusung monotheis serta menolak berhala yang bertentangan dengan keyakinan musyrikin Mekkah yang Paganism. Kedua, ajaran Yahudi dan Islam sama-sama meyakini tentang hari kiamat dan hari kebangkitan sedangkan musyrikin Mekkah menolaknya dan mengaggapnya sebagai dongeng. Ketiga, kisah-kisah dalam Al-Quran memiliki koherensi dengan kisah-kisah dalam kitab maupun dalam khazanah tradisi ahli kitab dan bani Israil seperti kisah-kisah para Nabi, sedangkan tidak dengan kaum musyrikin Mekkah yang mengaggapnya dongeng dan cerita mitos belaka karena mereka tidak memiliki keterkaitan dengan cerita-cerita bani Israil.

Dari ketiga fakta tadi maka tidak heran jika tidak ditemukan lagi respon ‘dongeng’ terhadap Al-Quran pada ayat-ayat Madaniyah ataupun periode Madinah karena faktor adanya koherensi substansi yang terkandung dari kedua ajaran ini. Demikian pula dapat ditarik benang merahknya kenapa kaum musyrikin Mekkah memandang isi Al-Quran itu seperti dongeng dalam pendengaran mereka dikarenakan tiga faktor diatas.

Namun perlu difahami juga bahwa, walaupun ahli kitab Madinah tidak mempertanyakan status kisah-kisah dalam Al-Quran. Namun ada juga penceritaan kisah-kisah dalam Al-Quran yang tidak sama alur maupun detail dengan yang tertulis dalam literatur agamawi ahli kitab. Bahkan pula tidak tertulis di sana.

Fenomena ini lalu direspon oleh orientalis, apologet maupun teolog dari kalangan Kristiani untuk menyerang Al-Quran dengan tuduhan kandungan dongeng didalamnya. Mereka membangun pemahaman bahwa kesamaan cerita kisah-kisah bani Israil dan umat-umat terdahulu dalam Al-Quran merupakan saduran yang diambil dari Alkitab. Pandangan ini sendiri sejalan dengan pemikiran Richard Bell dalam bukunya Introduction to The Qur'an, yang mana menurutnya Nabi Muhammad telah mengambil cerita-cerita itu dari Alkitab.

Namun Al Makin menegaskan bahwa dalam bukunya Bell kemudian merasa tidak yakin kalau Nabi Muhammad benar-benar mengutip dari Alkitab. Walaupun banyak kosa-kata dan cerita yang Alkitabiah, namun sangat minim untuk mencapai klaim "mengambil dari Alkitab". Bahkan Bell mengatakan akan sanga salah jika beranggapan bahwa Muhammad mendapat sumber itu dari orang Kristen, misalnya budak di Mekah, sehingga Quran disusun karena hal tersebut [4].

Terlebih Rasulullah tidak dapat membaca, serta Alkitab dari bahasa Arab belum ada pada masa itu. Manuskrip Alkitab pertama dalam bahasa Arab bernama Mt. Sinai Arabic Codex 151 yang ditulis pada tahun 867 masehi, dua abad pasca kewafatan Rasulullah. Umat Kristiani Arab pada masa rasulullah sendiri menggunakan manuskrip dari bahasa Ibrani, Aram maupun Yunani [5].

Bagi sebagian apologet maupun teolog dari kalangan Kristiani, cerita-cerita dalam Al-Quran yang tidak sealur dan sejalan dengan penceritaan dalam Alkitab diyakini sebagai ayat-ayat dongeng. Fenomena ini cukup mengundang diskusi yang menarik. Karena pertama, tidak ada keharusan isi kisah Al-Quran harus sesuai dengan Alkitab untuk menyandang klaim kewahyuan Al-Quran dari Tuhan. Kedua, muslim meyakini isi Taurat dan Injil yang ada sekarang tidak lagi otentik (tahrif).

Tentunya kisah-kisah yang serupa tapi berbeda antara Al-Quran dengan Alkitab diperlukan pembuktikan kebenaran historis cerita secara empiris untuk membuktikan cerita versi kitab mana yang lebih otentik.

Kisah Haman contohnya, dalam Al-Quran surat Al-Qashash: 38 dia disebutkan sebagai arsiteknya Fir’aun sedangkan Haman versi Alkitab merupakan tokoh politikus Persia. Istilah "Haman" dalam Al-Qur'an pernah diperdebatkan oleh sebagian orientalis sebagai bentuk kesalahan karena kontradiksi dengan versi Alkitab dari Kitab Ester. Dalam Alkitab menempatkan Haman 1.100 tahun sebelum zaman Ester. Namun, perdebatan itu menemui titik terang setelah ditemukannya prasasti "Batu Rosetta" tahun 1799 dimana akhirnya tulisan Hieroglif Mesir dapat dibaca.

Dr. Maurice Bucaille yang sebelumnya meneliti mumi Fir’aun mesir serta menulis buku tentangnya dengan judul Les momies des Pharaons et la médecine, kemudian menelusuri jejak Haman dari prasasti-prasasti Mesir kuno.

Berdasarkan penelitiannya ditemukanlah sebuah prasasti yang tersimpan di K. K. Hof Museum, Vienna yang diyakini memberikan titik terang status Haman secara empiris. Tulisan dalam peninggalan ini berhasil dibaca oleh Walter Wreszinski dengan nama hmn-h (Haman). Walaupun hmn-h tidak dapat dipastikan apakah namanya benar-benar Haman. Hal ini kemudian dikonfirmasi dengan tiga temuan empiris lainnya.

Pertama, Walter Wreszinski mengidentifikasi hmn-h dalam prasasti ini sebagai Vorsteher der Steinbrucharbeiter yang berarti ketua pekerja batu (arsitek).

Kedua, tanggal periode yang tertulis adalah tanggal New Kingdom Period yakni sebutan untuk masa kekuasaan Fir’aun Ramses II (Fir’aun masa Musa).

Ketiga, hmn-h dikonfirmasi sebagai laki-laki.

Dari ketiga fakta ini menguatkan bahwa hmn-h seorang kepala pekerja batu (arsitek), seorang laki-laki dan hidup pada masa Fir’aun Ramses II (Fir’aun masa Musa) sesuai dengan bunyi surat Al-Qashash: 38.

Penelitian ini kemudian diterbitkan dalam bukunya Dr. Maurice Bucaille dengan judul Moses and Pharaoh: The Hebrews In Egypt dan beliau telah masuk Islam. Ini merupakan salah satu sejarah yang dapat dikonfirmasi dari sekian banyak penceritaan kisah dalam Al-Quran yang tidak mungkin penulis uraikan disini.

Dari bukti empiris ini, apakah Alkitab dapat mengkonfirmasi secara histori bahwa Haman versi Alkitab benar-benar ada dalam dunia nyata?. Namun tulisan ini penulis tidak bertujuan untuk mengklaim mana yang lebih otentik dan tidak. Penulis hanya membuktikan bahwa kisah dalam Al-Quran yang tidak sealur dengan Alkitab dalam dikonfirmasi secara empiris.

Akhirnya dari pembahasan ini penulis dapat menarik kesimpulan bahwa penceritaan kisah dalam Al-Quran merupakan pewahyuan dari Allah yang bukan berupa mitos dan dongeng. Itu karena;

Pertama, respon terhadap kisah-kisah Al-Quran sebagai dongeng merupakan respon dari kaum Musyrikin Mekkah.

Kedua, hal-hal yang dianggap dongeng oleh mereka adalah pemberitaan tentang adanya hari akhir dan kiamat, menyembah hanya satu tuhan, kisah-kisah dari ummat terdahulu. Semua hal ini tidak diyakini oleh musyrikin Mekkah sehingga bagi mereka itu semua seperti mitos dan dongen.

Ketiga, respon yang sama tidak ditemukan dalam ayat-ayat Madaniyah karena cerita yang tercantum dalam Al-Quran koheren dengan cerita dalam khazanah ahli kitab baik Yahudi maupun Kristiani.

Keempat, adanya kisah-kisah dalam Quran yang serupa dengan kisah-kisah dalam Taurat Yahudi dan Alkitab namun dengan detail dan alur yang berbeda. Dan ini diperlukan bukti empiris untuk mengkonfirmasi kebenarannya, dalam hal ini terbukti secara empiris cerita tentang Haman dalam Al-Quran lebih otentik secara histografi daripada cerita Haman dalam Alkitab. Hal ini membuktikan bahwa cerita dalam Al-Quran bukan dongeng dan dapat dikonfirmasi secara empiris.
_______________
[1] Louwis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-'Alam (Bairut: Dar al-Masyriq, 2003), hlm. 11
[2] Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), hlm. 631
[3] Jalaluddin As-Suyuthi, Asbabun Nuzul (Jakarta: Gema Insani, 2008) hlm. 260
[4] Al Makin, Antara Barat dan Timur: Batasan, Relasi, dan Globalisasi (Jakarta: Serambi, 2015) Hlm. 105-107

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.